Bulan September, Oktober hingga akhir tahun merupakan “musim” yang tepat bagi sebuah kelompok atau organisasi yang bergelut dibidang Pecinta Alam dan Lingkungan, baik itu ditingkat sekolah menengah, Universitas maupun umum. Apa alasannya? Pertama, rentang waktu tersebut tepat dengan kalender akademik penerimaan siswa/mahasiswa baru. Kedua, September hingga akhir tahun merupakan waktu dengan varian musim yang cukup fluktuatif, hujan dan panas tidak bisa diprediksi, sehingga memunculkan banyak tantangan dalam melakukan kegiatan di Alam terbuka.
Apa itu kelompok, klub, organisasi pecinta Alam dan Lingkungan? Ini adalah sebuah perkumpulan dengan aturan aturan tertentu, dimana hampir seluruh kegiatannya berorientasi pada kegiatan luar ruangan, bahasa kerennya “without a roof activity” yang secara spesifik diartikan sebagai pendakian gunung, pemanjatan tebing, penelusuran goa, penyusuran pantai, sea diving, eksplorasi dirgantara, konservasi lingkungan hidup maupun seluruh kegiatan yang masuk kategori petualangan yang berbasis Alam bebas. Selain itu, bagaimana konsep ber-organisasi juga dilatih dalam perkumpulan ini.
Bagaimana sejarah organisasi seperti ini? Di dunia barat tercatat sudah dimulai sejak awal abad 20 atau awal 1900-an. Sedangkan di Indonesia sendiri meledak pada era 1960. Masa keemasan nya di bumi pertiwi adalah pada tahun 1970 hingga 1990 dimana banyak aktivis berbondong bondong menggabungkan diri dalam sebuah kelompok Pecinta Alam dan Lingkungan dan berkarya dengan eksplorasi eksplorasi ekslusif dan spektakuler.
Kenapa diartikan sebagai ekslusif dan spektakuler? Karena tidak semua manusia punya keberanian untuk bergabung dan menikmati kegiatan kelompok seperti ini. Gunung, Hutan, Tebing masih merupakan wilayah yang sulit dijangkau dan terkesan un-touched alias tidak tersentuh.
Bagaimana dengan perkembangan kelompok ini di era 2000-an? Bisa dikatakan mati suri, banyak alas an yang tidak bisa dibeberkan satu per satu. Mulai dari mitos sistem penerimaannya yang dikenal “keras” dan penuh “plonco”, hingga mudahnya akses orang untuk menjangkau wilayah un-touched tadi tanpa harus bersusah payah bergabung dengan kelompok pecinta alam dan lingkungan.
Lalu kenapa kita tidak harus bergabung dengan kelompok ini?
Zaman ini, diakhir 2016, merupakan zaman Instant. Zaman dimana informasi bisa didapat dimana saja tanpa harus mengangkat pantat dari kursi empuk dirumah. Zaman dimana segala kesenangan bisa didapat hampir “tanpa harus mengeluarkan keringat”. Zaman dimana segalanya serba mudah, untuk menjangkau gunung, hutan, tebing, goa, laut kita hanya butuh sedikit waktu luang, uang, seberkas keberanian yang bisa saja muncul hanya dengan keinginan untuk pamer foto di media social.
Ke gunung, tebing, goa, laut? Cukup dengan membuka mesin pencari, informasi bisa didapat. Luangkan waktu dan siapkan uang, beli peralatan dan kita bisa menjangkau wilayah petualangan yang kita mau. Ketika kita masih ragu dengan kemampuan atau skill petualangan kita, maka kita bisa menyewa guide atau instruktur berpengalaman untuk menemani perjalanan kita. Selanjutnya? Foto foto kita terpampang dengan jelas di media social, di like oleh ratusan hingga ribuan followers, kita puas. Habis perkara.
Zaman ini, diakhir 2016 adalah zaman dimana sedikit goresan pada tubuh manusia menjadi berita besar. Kaki lecet, foto dan kemudian terpampang di media social, terkena panu, foto, lalu terpampang di media social. Kuping merah dijewer guru, terpampang dimedia social, guru dipidanakan setelah sebelumnya dihakimi oleh wali murid.
Ini adalah zaman individualistik, dimana kita bisa melakukan sesuatu yang sulit sendirian, tanpa harus melibatkan orang banyak.
Ini adalah zaman dimana gunung, tebing, hutan, goa dan dalamnya lautan bisa dieksplorasi dengan mudah hingga kegiatan manusia didalamnya kehilangan ekslusifitasnya.
Apa yang akan kita dapatkan ketika bergabung dengan kelompok pecinta Alam? Perjalanan yang panjang dan melelahkan, rawan terkena duri didalam hutan, rawan terkena luka lecet karena bebatuan, rawan tersengat binatang laut yang beracun dan menjijikkan, rapat-rapat yang menyita waktu dengan perdebatan yang panjang tiada akhir dengan banyak sekali orang, dan aturan aturan yang membosankan dalam organisasi.
Lalu, masihkah ada alasan kenapa kita harus tertarik pada kelompok atau organisasi seperti ini?
Jawaban kuncinya, kita mulai dengan pertanyaan : Kenapa kelompok atau organisasi seperti ini, saat ini, masih berdiri dan masih ada manusia yang rela bergabung didalamnya?
Ada dua jawaban, Pertama, ada banyak orang yang tak tahu tujuan, bergabung dengan kelompok atau organisasi Pecinta Alam dan Lingkungan, ketika sudah memasuki ‘rumah’ tersebut, dia kecewa dan merasa “tertipu”. Awalnya dia mengira kelompok atau organisasi seperti ini bertipe modern dan instant seperti layaknya perkembangan zaman, namun ternyata sangat konservatif, ketinggalan jaman, ribet, rumit, bertele-tele.
Kedua, dan ini yang harus digarisbawahi : Dari sekian banyak manusia instant zaman sekarang, masih ada tipikal manusia yang mencoba memahami proses untuk kemudian banyak memetik pelajaran dari proses itu sendiri dari pada mementingkan tujuannya. Tipikal orang seperti ini tergolong konservatif, kuno, karena memilih jalan sulit dibanding jalan mudah.
Mereka memilih berhadapan dengan situasi yag serba terbatas dalam pendidikan dan pelatihan olahraga alam bebas di sebuah organisasi dengan aturan baku, dibandingkan membayar instruktur berpengalaman untuk melatihnya secara instant.
Mereka memilih untuk merasakan dinginnya hujan, teriknya matahari, kerasnya bebatuan, berbahayanya perairan dibanding tertidur dikasur empuk, dengan ruangan ber-AC dan berselimut tebal.
Mereka memilih belajar konservasi lingkungan dibanding dengan mudahnya menyerahkan tanggungjawab pada petugas balai taman nasional untuk memelihara lingkungan hidup yang seimbang.
Mereka memilih proses pembelajaran berkelompok dengan manusia manusia social dibanding bergelut dengan dunia maya untuk kemudian membuka mesin pencari instant dan pergi ke suatu tempat hanya untuk selfie.
Mereka memilih sharing ilmu dengan orang-orang berpengalaman dalam organisasi yang terkesan dingin, tanpa senyum dan pelit ilmu dibandingkan dengan instruktur kegiatan petualangan “bayaran” yang penuh kesabaran dan senyuman untuk berbagi.
Mereka lebih memilih melewati proses rapat-rapat yang banyak menghabiskan waktu berargumentasi dengan banyak orang dibanding diam dan senyum-senyum sendiri didepan layar monitor atau gadget androidnya tanpa harus mengeluarkan urat mempertahankan argumennya.
Mereka memilih tertawa bersama dalam balutan api yang susah payah dibuat dibanding tertawa puas sendirian karena telah memampangkan foto selfie dirinya maupun kelompok kecilnya dalam social media.
Mereka memilih untuk terbiasa meminjamkan baju hangatnya ketika kedinginan kepada orang lain dibandingkan melakukan perjalanan dengan fasilitas lengkap.
Mereka lebih memilih terbisaa “berkeluarga” dibandingkan individual
Mereka memilih untuk membiasakan diri mengambil jalan sulit untuk menikmati dan menjaga keindahan melalui keseimbangan alam dan lingkungan.
Mereka memilih mengambil jalan berbelit dari pada “shortcut” alias jalan pintas.
Mereka adalah orang-orang kuno, konservatif.
Namun percayalah, bahwa proses lebih harus diperhatikan dibanding hasil, langkah harus lebih difokuskan dibanding tujuan, berjama’ah lebih baik dibanding sendiri-sendiri, terbiasa hidup dalam aturan dan disiplin lebih baik dibanding hidup santai dan membiarkan waktu menggilas.
Sifat kuno seperti ini tidak menjamin selalu sukses dalam semua bidang kehidupan. Tapi paling tidak, kita akan dibisaakan pada bagaimana mengambil keputusan dalam kondisi sesulit apapun, jujur pada diri sendiri dan orang lain dalam keadaan apapun, dan yang terpenting, sensitive pada lingkungan sekitar.
Jadi, sekali lagi, di Zaman mudah seperti ini, jangan mau bergabung dalam kelompok atau organisasi pecinta Alam.
Ini bukan tentang siapa dan apa yang akan menjadi lenih baik, ini tentang pilihan, langkah, dan optimalisasi hidup. Push yourself to the Limit.
At least..
We are Slowly Walker, but we’ll never walk back.
Mapak Alam Unpas, 07.27.0326/Banyu Sagara
Muhammad Rizki Mandiri