Lingkungan Hidup

Waktu, Perasaan dan Keluhan

Harum semerbak aroma kopi cukup menyengat rongga hidung. Terselip obrolan – obrolan ringan tentang berbagai hal di antara kelompok kecil yang terbentuk secara tak sengaja. Irama pembicaraan yang menggema memunculkan berbagai macam warna : hitam, putih, kuning, jingga, merah marun. Muatan obrolan yang menggambarkan hati – hati sang empunya lidah. Keluhan, kegembiraan, fiksi, fakta, senang, sedih, tawa, tangis, marah, kesabaran, aktif, pasif silih berganti mengepul diudara, bercampur dengan aroma kopi yang sudah mulai dingin.

Manusia, kita, hidup di arena bulat yang disebut bumi dengan segala kontradiksinya. Zaman dengan bangga menyebut dirinya edan, gila, sinting. Sekelompok orang yang dibawah terik matahari sesuka hati menebang pohon – pohon, tatkala panas menyengat kepala, mereka berlindung dibawah pohon yang belum sempat ditebangnya.
Kumpulan orang yang membangun gedung gedung tinggi, namun melewatkan sisi kontras tenda dan gubuk kecil disekitarnya.
Berbagai macam orang yang membicarakan betapa berbahayanya CO2 dari asap kebakaran hutan dengan mulut mengepul, menghisap berbatang batang tembakau.
Orang orang yang mengeluh dengan keadaan yang memghimpit, pekerjaan yang membludak, penghasilan yang minim, keluhan yang digelontorkan pada sahabatnya yang tidak mempunyai pekerjaan.
Si miskin, sang empunya anak tunggal yang mengeluhkan betapa kerasnya bekerja sebagai pekerja kasar, kepada temannya yang bekerja sebagai staff sebuah kantor elit yang menanggung biaya membesarkan enam orang anak.
Tetangga yang membicarakan ungkapan simpati, empati dan rasa kasihan kepada kerabatnya yang baru wafat tanpa berpikir bahwa semua makhluk bernama manusia, termasuk mereka besok, lusa atau kapanpun bisa menyusulnya.
Anak yang mempunyai penghasilan ekonomi berlimpah, ilmu yang luas, menceramahi orang tuanya dengan bahasa yang hampir tak bisa dimengerti oleh wajah wajah sederhana.
Manusia manusia yang membicarakan kelemahan manusia lainnya, dalam raung ketidaksadaran bahwa ada kotoran diujung hidungnya.

Seruput kopi terakhir dari gelas yang mulai tampak dedak kopinya baru saja terlewati. Kebingungan memilih raut wajah antara senyum, getir atau datar ketika memikirkan kontradiksi yang Kita lewati setiap harinya.
Diantara raung mesin yang baru saja melintas, terngiang kata – kata Umar ibnu Khattab Radiallahu ‘anhu : “Aku tidak peduli dengan keadaan susah maupun senangku, karena aku tak tahu mana yang lebih baik antara keduanya.”

Waktu memang akan terus berjalan, menindas siapapun yang remeh terhadapnya. Kita semua menua, walau dalam kamus manusia umur masih tegolong muda. Sisi kontradiksi hidup akan kita lewati setiap Hari, membantu waktu untuk terus menggilas siapapun.
Tinggal kita memilih, berada si sisi gelap atau terang dari kontradiksi itu.

Namun yang pasti, Keluhan serta keangkuhan dan Syukur berada pada sisi yang berseberangan.

(Jakarta, Sabtu lewat tengah hari)

Jangan Mau Bergabung Dengan Pecinta Alam

Bulan September, Oktober hingga akhir tahun merupakan “musim” yang tepat bagi sebuah kelompok atau organisasi yang bergelut dibidang Pecinta Alam dan Lingkungan, baik itu ditingkat sekolah menengah, Universitas maupun umum. Apa alasannya? Pertama, rentang waktu tersebut tepat dengan kalender akademik penerimaan siswa/mahasiswa baru. Kedua, September hingga akhir tahun merupakan waktu dengan varian musim yang cukup fluktuatif, hujan dan panas tidak bisa diprediksi, sehingga memunculkan banyak tantangan dalam melakukan kegiatan di Alam terbuka.

132

Apa itu kelompok, klub, organisasi pecinta Alam dan Lingkungan? Ini adalah sebuah perkumpulan dengan aturan aturan tertentu, dimana hampir seluruh kegiatannya berorientasi pada kegiatan luar ruangan, bahasa kerennya “without a roof activity” yang secara spesifik diartikan sebagai pendakian gunung, pemanjatan tebing, penelusuran goa, penyusuran pantai, sea diving, eksplorasi dirgantara, konservasi lingkungan hidup maupun seluruh kegiatan yang masuk kategori petualangan yang berbasis Alam bebas. Selain itu, bagaimana konsep ber-organisasi juga dilatih dalam perkumpulan ini.

 

Bagaimana sejarah organisasi seperti ini? Di dunia barat tercatat sudah dimulai sejak awal abad 20 atau awal 1900-an. Sedangkan di Indonesia sendiri meledak pada era 1960. Masa keemasan nya di bumi pertiwi adalah pada tahun 1970 hingga 1990 dimana banyak aktivis berbondong bondong menggabungkan diri dalam sebuah kelompok Pecinta Alam dan Lingkungan dan berkarya dengan eksplorasi eksplorasi ekslusif dan spektakuler.

 

Kenapa diartikan sebagai ekslusif dan spektakuler? Karena tidak semua manusia punya keberanian untuk bergabung dan menikmati kegiatan kelompok seperti ini. Gunung, Hutan, Tebing masih merupakan wilayah yang sulit dijangkau dan terkesan un-touched alias tidak tersentuh.

 

Bagaimana dengan perkembangan kelompok ini di era 2000-an? Bisa dikatakan mati suri, banyak alas an yang tidak bisa dibeberkan satu per satu. Mulai dari mitos sistem penerimaannya yang dikenal “keras” dan penuh “plonco”, hingga mudahnya akses orang untuk menjangkau wilayah un-touched tadi tanpa harus bersusah payah bergabung dengan kelompok pecinta alam dan lingkungan.

 

 

Lalu kenapa kita tidak harus bergabung dengan kelompok ini?

 

Zaman ini, diakhir 2016, merupakan zaman Instant. Zaman dimana informasi bisa didapat dimana saja tanpa harus mengangkat pantat dari kursi empuk dirumah. Zaman dimana segala kesenangan bisa didapat hampir “tanpa harus mengeluarkan keringat”. Zaman dimana segalanya serba mudah, untuk menjangkau gunung, hutan, tebing, goa, laut kita hanya butuh sedikit waktu luang, uang, seberkas keberanian yang bisa saja muncul hanya dengan keinginan untuk pamer foto di media social.

 

Ke gunung, tebing, goa, laut? Cukup dengan membuka mesin pencari, informasi bisa didapat. Luangkan waktu dan siapkan uang, beli peralatan dan kita bisa menjangkau wilayah petualangan yang kita mau. Ketika kita masih ragu dengan kemampuan atau skill petualangan kita, maka kita bisa menyewa guide atau instruktur berpengalaman untuk menemani perjalanan kita. Selanjutnya? Foto foto kita terpampang dengan jelas di media social, di like oleh ratusan hingga ribuan followers, kita puas. Habis perkara.

 

Zaman ini, diakhir 2016 adalah zaman dimana sedikit goresan pada tubuh manusia menjadi berita besar. Kaki lecet, foto dan kemudian terpampang di media social, terkena panu, foto, lalu terpampang di media social. Kuping merah dijewer guru, terpampang dimedia social, guru dipidanakan setelah sebelumnya dihakimi oleh wali murid.

 

Ini adalah zaman individualistik, dimana kita bisa melakukan sesuatu yang sulit sendirian, tanpa harus melibatkan orang banyak.

 

Ini adalah zaman dimana gunung, tebing, hutan, goa dan dalamnya lautan bisa dieksplorasi dengan mudah hingga kegiatan manusia didalamnya kehilangan ekslusifitasnya.

 

Apa yang akan kita dapatkan ketika bergabung dengan kelompok pecinta Alam? Perjalanan yang panjang dan melelahkan,  rawan terkena duri didalam hutan, rawan terkena luka lecet karena bebatuan, rawan tersengat binatang laut yang beracun dan menjijikkan, rapat-rapat yang menyita waktu dengan perdebatan yang panjang tiada akhir dengan banyak sekali orang, dan aturan aturan yang membosankan dalam organisasi.

 

Lalu, masihkah ada alasan kenapa kita harus tertarik pada kelompok atau organisasi seperti ini?

 

Jawaban kuncinya, kita mulai dengan pertanyaan : Kenapa kelompok atau organisasi seperti ini, saat ini, masih berdiri dan masih ada manusia yang rela bergabung didalamnya?

 

Ada dua jawaban, Pertama, ada banyak orang yang tak tahu tujuan, bergabung dengan kelompok atau organisasi Pecinta Alam dan Lingkungan, ketika sudah memasuki ‘rumah’ tersebut, dia kecewa dan merasa “tertipu”. Awalnya dia mengira kelompok atau organisasi seperti ini bertipe modern dan instant seperti layaknya perkembangan zaman, namun ternyata sangat konservatif, ketinggalan jaman, ribet, rumit, bertele-tele.

 

Kedua, dan ini yang harus digarisbawahi : Dari sekian banyak manusia instant zaman sekarang, masih ada tipikal manusia yang mencoba memahami proses untuk kemudian banyak memetik pelajaran dari proses itu sendiri dari pada mementingkan tujuannya. Tipikal orang seperti ini tergolong konservatif, kuno, karena memilih jalan sulit dibanding jalan mudah.

 

Mereka memilih berhadapan dengan situasi yag serba terbatas dalam pendidikan dan pelatihan olahraga alam bebas di sebuah organisasi dengan aturan baku, dibandingkan membayar instruktur berpengalaman untuk melatihnya secara instant.

Mereka memilih untuk merasakan dinginnya hujan, teriknya matahari, kerasnya bebatuan, berbahayanya perairan dibanding tertidur dikasur empuk, dengan ruangan ber-AC dan berselimut tebal.

Mereka memilih belajar konservasi lingkungan dibanding dengan mudahnya menyerahkan tanggungjawab pada petugas balai taman nasional untuk memelihara lingkungan hidup yang seimbang.

Mereka memilih proses pembelajaran berkelompok dengan manusia manusia social dibanding bergelut dengan dunia maya untuk kemudian membuka mesin pencari instant dan pergi ke suatu tempat hanya untuk selfie.

Mereka memilih sharing ilmu dengan orang-orang berpengalaman dalam organisasi yang terkesan dingin, tanpa senyum dan pelit ilmu dibandingkan dengan instruktur kegiatan petualangan “bayaran” yang penuh kesabaran dan senyuman untuk berbagi.

Mereka lebih memilih melewati proses rapat-rapat yang banyak menghabiskan waktu  berargumentasi dengan banyak orang dibanding diam dan senyum-senyum sendiri didepan layar monitor atau gadget androidnya tanpa harus mengeluarkan urat mempertahankan argumennya.

Mereka memilih tertawa bersama dalam balutan api yang susah payah dibuat dibanding tertawa puas sendirian karena telah memampangkan foto selfie dirinya maupun kelompok kecilnya dalam social media.

Mereka memilih untuk terbiasa meminjamkan baju hangatnya ketika kedinginan kepada orang lain dibandingkan melakukan perjalanan dengan fasilitas lengkap.

Mereka lebih memilih terbisaa “berkeluarga” dibandingkan individual

Mereka memilih untuk membiasakan diri mengambil jalan sulit untuk menikmati dan menjaga keindahan melalui keseimbangan alam dan lingkungan.

Mereka memilih mengambil jalan berbelit dari pada “shortcut” alias jalan pintas.

Mereka adalah orang-orang kuno, konservatif.

 

 

Namun percayalah, bahwa proses lebih harus diperhatikan dibanding hasil, langkah harus lebih difokuskan dibanding tujuan, berjama’ah lebih baik dibanding sendiri-sendiri, terbiasa hidup dalam aturan dan disiplin lebih baik dibanding hidup santai dan membiarkan waktu menggilas.

 

Sifat kuno seperti ini tidak menjamin selalu sukses dalam semua bidang kehidupan. Tapi paling tidak, kita akan dibisaakan pada bagaimana mengambil keputusan dalam kondisi sesulit apapun, jujur pada diri sendiri dan orang lain dalam keadaan apapun, dan yang terpenting, sensitive pada lingkungan sekitar.

 

Jadi, sekali lagi, di Zaman mudah seperti ini, jangan mau bergabung dalam kelompok atau organisasi pecinta Alam.

 

Ini bukan tentang siapa dan apa yang akan menjadi lenih baik, ini tentang pilihan, langkah, dan optimalisasi hidup. Push yourself to the Limit.

 

At least..

We are Slowly Walker, but we’ll never walk back.

 

 

Mapak Alam Unpas, 07.27.0326/Banyu Sagara

 

Muhammad Rizki Mandiri

 

 

 

Saya Kawanua dan Kecewa pada Taman Nasional Bunaken

Ada sebuah wilayah yang terkenal akan budaya baharinya. Letaknya diujung utara nusa sulawesi. Keindahannya konon menjadi icon pariwisata propinsi tersebut. Sejak 1991 lahirlah berita, bahwa tiga nusa yang mengelilingi beserta ekosistem laut dibawahnya ditetapkan sebagai taman nasional.

Dua puluh empat tahun sudah berlalu. Kunjunganku yang kesekian kali di area iconic tersebut. Masih mengagumkan namun sedikit demi sedikit mulai menimbulkan kekhawatiran. Ada yang salah.

Sudah mulai ramai tulisan akan kekecewaan manusia yang mengunjungi wilayah itu. Banyak yang kecewa. Ikan-ikannya, terumbu karangnya, laut birunya, pantainya, rumah-rumah disekelilingnya, sarana pendukungnya. Apakah masih tersisa keistimewaannya? Hampir tidak ada. Tampak datar menjurus curva, layaknya kepungan air disekitarnya. Yang menonjol hanya harga-harga serta sampahnya.

Yang terhormat pemegang tahta pemerintahan serta semua manusia berotak yang ada disekitar area tersebut : Mari kita bekerja sama dan sama-sama bekerja untuk mengembalikan wilayah itu pada fitrahnya. Dengan fungsi dan kemampuan masing-masing. Bekerja untuk memperbaiki dan membangun, bukan hanya bekerja dengan otot, juga dengan otak, tidak sempurna juga otak tanpa membawa perasaan. Mari bersinergi dengan Otot, Otak dan Hati.

Yang memerintah membuat kebijakan dan aturan ketat yang pro rakyat, pro lingkungan, pro estetika. Yang mendiami area harus menghormati : Alam serta Aturan yang berlaku dan sedikit meredam kerakusan. Yang mengunjungi baik yang kagum maupun yang kecewa mari membangun dengan kritikan, dalam bentuk apapun itu dan yang jelas harus disampaikan bagaimanapun caranya, tentukan arahnya.

Terumbu karang yang rusak, ikan-ikan yang menjauh, air laut yang mulai keruh, pesona pasir pantai yang memudar, sarana dan prasarana yang semakin suram, harga yang membumbung tinggi : bukan hewan, tumbuhan maupun benda mati yang bisa memperbaikinya. Siapa yang diberi kelebihan otak dan hati yang mengemban tanggungjawab utama. Siapapun manusia yang mau bergerak, ikhlas atau tidak, bergeraklah. Gerakan sekecil apapun akan memberi manfaat jika dilakukan secara bersama-sama dan terus menerus.

Sedikit hikayat tentang saya Kawanua, dan saya masih saja kecewa…

TN BUNAKEN, SULAWESI UTARA

Agustus 2015.

Ancaman Dari Cimandiri Hingga Baribis

(Repost dari grup FB MAPAK ALAM UNPAS – Oleh Boun “Maun Nakula” – KG ’98)

Di Jawa bagian barat, terdapat sejumlah sesar yakni Ujung Kulon, Cimandiri, Lembang, Baribis, Tomo, dan Bumiayu. Di antara sesar tersebut, patahan Lembang mulai menjadi sorotan. Bukan apa-apa, patahan aktif ini dikelilingi hunian padat, terutama di kawasan Lembang.

Nun di bawah, lebih dari 3 juta penduduk di wilayah cekungan Bandung ikut terancam geliat gempanya. Potensi   maksimal kekuatan gempa patahan ini diperikirakan berkisar 6-7 magnitudo. Ujung sesar Lembang sepanjang 22 kilometer adalah Gunung Palasari, terus melewati daerah Batunyusun, Gunung Batu, Observatorium Bosscha, Cihideung, dan ujung baratnya di Cisarua, Kabupaten Bandung Barat.

Seluruh bagian tersebut terangkat 300-400 meter. Adapun disebelah utara “garis” patahan cenderung bergerak turun. Dari hasil citra satelit, patahan berjenis normal tersebut berbentuk nyaris lurus.

Pakar gempa, Danny Hilman Natawidjaja, mengatakan tingkat kerusakan bangunan setara dengan percepatan gravitasi lindu 0,3-0,4 G. “Gempa di Bandung bisa seperti di Yogyakarta pada tahun 2006,” ujarnya saat kuliah umum di ITB bertajuk “Sesar Lembang dan Hubungannya dengan Masyarakat Bandung”,.

Selain padat penduduk, kesamaan Bandung dan Yogyakarta adalah kotanya dibangun di atas tanah endapan. Selain labil, jenis tanah ini berpotensi memperbesar getaran gempa dari titik asalnya.

Peneliti dari Geoteknologi LIPI tersebut juga khawatir peristiwa gempa Kobe, Jepang, pada  terjadi di ibu kota Jawa Barat itu. Sama-sama punya pergerakan sesar 2 milimeter per tahun, bencana di Kobe baru terjadi setelah gempanya tertidur lama. “Di Kobe, tidak ada gempa sejak 2.000 tahun kebelakang, tahunya jebret 2005,” katanya.

Adapun sejarah kegempaan sesar Lembang pada masa lampau sejau ini masih diteliti rekannya, Eko Yulianto, yang menggali empat lubang di Cihideung dan Kampung Sukamulya.0 tahun lalu,” katanya. Be Semuanya berada tepat di atas jalur patahan Lembang.

Dari lapisan tanah sedalam 1,5 – 2 meter, Eko menemukan tanah termuda berusia 500 tahun di kedalaman 80 sentimeter. “Diperkirakan gempa paling besar terakhir pada 400-60berapa waktu lalu, ia memperkirakan kekuatan gempa yang pernah terjadi berkekuatan 7 pada skala Ricther.

Sejarah gempa patahan Lembang boleh dibilang masih nihil. Namun peneliti dari pusat Survei Geologi Badan Geologi, Engkon Kertapati, punya riwayat lain. Menurut dia, sesuai dengan catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, pada Juni 2003 pernah terjdi gempa dangkal dipatahan Lembang dengan kedalaman 10 kilometer yang berada di daerah Cihideung. “Besarnya 5,4 skala Richter, dan menurut laporan lisan, merusak beberapa rumah warga disana,” ujarnya.

Pergerakan patahan Lembang juga masih belum terang, apakah bersamaan atau terbagi dalam beberapa segmen. Eko Yulianto menduga gempa berskala 7 terjadi karena sesar bergerak bersamaan. Kondisi di bawah tanah patahan juga belum diketahui, apakah ada bagian yang terkunci atau merangkak lambat (creep).

Menurut Eko, patahan Lembang bergerak karena dorongan lempeng Hindia-Australia dari selatan dan tertahan lempeng Eurasia dari utara, seperti halnya di Sumatera. Karena tak kuat menahan desakan patahan itu akan menimbulkan gempa.

Para ahli telah memasang alat perekam gempa dan global positioning system. Menurut Irwan Meilano, pergerakan sear Cimandiri ternyata dua kali lebih besar disbanding sesar Lembang, yaitu 4 milimeter per tahun. Potensi kekuatan maksimal gempanya dari hasil pemodelan diperkirakan mencapai M 7,2.

Engkon Kertapati menjelaskan, berbeda dengan Lembang, bentuk sesar Cimandiri terputus-putus menjadi beberapa segmen. Mulai Pelabuhan Ratu, Cianjur, lalu ke segmen Rajamandala.

Menurut Engkon, yang menjadi anggota tim Peta Gempa Indonesia 2010, sesar Cimandiri setinggi rata-rata 15 meter bergerak normal dengan geseran. Kecepatannya, dalam hitungan Engkon, lebih lambat ketimbang Lembang, yaitu 0,6 – 1,4 milimeter per tahun.

Tercatat pernah ada tiga gempa di patahan itu, yaitu di Cimandiri pada 1982, 1844 di Cianjur, dan 1910 di Rajamandala. Namun, kekuatan gempa dan dampak kerusakannya. Kata sarjana geologi Universitas Padjajaran tersebut, sejauh ini belum diketahui.

Adapun patahan Baribis, yang belum diakui sebagai ancaman gempa di peta nasional, berbaris melengkung putus-putus dari arah barat ke selatan.

Menurut Engkon, tercatat ada lima kali kejadian gempa di daerah patahan itu : Karawang pada 1862, Sumedang 1972, Cirebon 1853, Majalengka 1991, dan Kuningan 1875.

Para ahli sependpat yang paling penting dari paparan peta ancaman gempa adalah kesiapan masyarakat dan pemerintah dalam membangun gedung, rumah, serta infrastruktur lainnya agar tahan gempa. Paling tidak, hunian tak runtuh seluruhnya.

Catatan Perjalanan Usang: Cileat – Ipis – Sanggara, Sisa Sabuk Hijau Bandung Utara.

26012010152

Agak sulit dalam menemukan kata-kata yang pas untuk menggambarkan perjalanan ini. Sekian tahun lalu perjalanan ini dilaksanakan, namun baru sekarang coba dituangkan dalam bentuk laporan perjalanan disitus ini. Sehingga munculah kata “Usang” terselip dari judul diatas. Usang, karena penulis terkesan lambat menuangkan kisah perjalanan ini. Tapi disuatu sore, dengan segelas kopi sempurna yang diseduh dari air yang baru dididihkan, terpikir oleh penulis kondisi terakhir hutan wilayah bandung utara yang secara kasat mata, diakhir tahun 2011 mulai beralih fungsi dari hutan menjadi perkebunan kopi. Maka tak ada salahnya diputuskan untuk sedikit menggunakan keyboard Personal Computer dalam rangka mengabadikan wilayah Bandung Utara yang dulu pernah dijajaki, siapa tahu berguna dan bermanfaat untuk sedikit kampanye lewat tulisan melawan kebijakan pemerintah yang mungkin bisa saja meluluh-lantakan keperkasaan hutan Bandung Utara. Tulisan ini juga merupakan repost dari tulisan saya yang sama di mapakalam.org Cukup Basa-basinya.

Pagi itu disuatu bulan awal tahun 2010, kami, empat orang personil dari organisasi Mahasiswa Pecinta Kelestarian Alam (MAPAK ALAM) beranggotakan Jendri Kurniawan (Banyu Sagara 07), M. Rizki Mandiri (Banyu Sagara 07), Ari Umar Sidik (Rimba Raya 08) dan Erja Gussandy (Ketua Umum MAPAK ALAM 2012-2013) sibuk mempersiapkan perjalanan yang telah disepakati. Beberapa hari sebelumnya kami berempat sempat terlibat diskusi kecil dengan kang Benyamin VH (Angin Kabut ’84) atau yang dikenal sebagai kang Benyo, tentang rencana perjalanan sekaligus latihan untuk mengasah ilmu Gunung Hutan khususnya Navigasi Darat. Rencana awal yang disepakati adalah perintisan jalur dari titik awal gunung Cangok, cisalak, Kabupaten Subang, menuju gunung Bukit Tunggul, Lembang, Bandung Barat. Jadilah pada pagi itu, di sekretariat MAPAK ALAM, kami mempersiapkan semua perlengkapan tim maupun pribadi yang biasa digunakan dalam pendakian gunung ataupun penjelajahan hutan. Tak lupa kami memeriksa kembali senjata utama kami dalam sebuah perjalanan gunung hutan, yaitu: peta, kompas, alat tulis serta alat bantu Global Positioning System (GPS). Peta yang rencananya akan kami gunakan sendiri adalah peta keluaran Bakosurtanal meliputi sebagian kecil wilayah Kabupaten Subang, Bandung Barat dan Sumedang dengan skala 1 : 25.000 dan menggunakan koordinat geografis. Setelah merasa siap dari segi perlengkapan, tim melakukan briefing kecil dengan kang Benyo yang memang berniat mengantarkan kami menuju titik awal perjalanan. Dalam briefing tersebut, setelah sedikit melakukan orientasi peta, terjadi perubahan arah perjalanan, dengan alasan lintasan perjalanan awal (Gunung Cangak – Bukit tunggul) terlalu curam, banyak melintasi tebing, dan vegetasi yang terlalu rapat, sehingga memerlukan waktu yang lama untuk melakukan perintisan jalur di wilayah itu. Akhirnya disepakati kami merubah titik awal perjalanan sedikit kearah barat gunung Cangok, yaitu Wilayah cileat yang terkenal dengan wisata Air terjunnya dengan titik akhir perjalanan di Gunung Bukit Tunggul.

Pagi yang cerah hari itu, kala kami dengan ditemani oleh kang Benyamin VH, diantar oleh kendaraan milik Universitas Pasundan berjenis Elf, membelah kota Bandung dan bergerak menuju utara. Setelah sempat berhenti sejenak di Pasar Lembang untuk re-check logistic, kurang lebih satu setengah jam perjalanan akhirnya kami tiba di wilayah Cileat, Cisalak kabupaten Subang. Singkat kata, setelah kembali memeriksa perlengkapan, sedikit orientasi medan serta berdoa bersama memohon keselamatan akhirnya, pukul 13.00, kami ber-empat memulai perjalanan, Sedangkan kang Benyo bertolak lagi menuju kota Bandung. Hujan deras menyambut kami siang itu. Dengan bersenjatakan Raincoat, kami dengan penuh semangat mengayun langkah demi langkah melewati rumah-rumah penduduk. Hujan yang tak kunjung berhenti dan kabut tipis tak menyurutkan semangat kami. Kurang lebih satu jam perjalanan akhirnya kami sampai pada wilayah perkebunan dan disambut oleh “Curug” atau air terjun. Tiga curug yang berdekatan posisinya sedikit menyejukkan mata kami. Dengan rata-rata tinggi curug kurang lebih 20-25 Meter dengan kucuran air yang cukup deras, momen ini merupakan saat yang tepat untuk dokumentasi perjalanan. Wilayah Cileat memang terkenal dengan banyaknya air terjun yang tersebar baik diwilayah perkebunan masyarakat maupun yang terletak dalam wilayah hutan. Curug atau air terjun yang terkenal sebagai tempat wisata diwilayah ini adalah curug Cileat, letaknya agak menjorok kedalam hutan. Dari peta yang kami gunakan, bila melihat rencana lintasan perjalanan, maka Curug Cileat berada disisi sebelah barat kami. Setelah sedikit mengambil foto untuk keperluan dokumentasi, selanjutnya kami kembali melakukan Resection (menentukan posisi kita di peta), untuk memastikan posisi kami apakah masih berada pada jalur yang direncanakan atau tidak. Setelah mengetahui posisi kami dalam peta kemudian kami mencoba kembali untuk orientasi peta. Dari orientasi peta yang kami lakukan, bisa terlihat medan yang terus menanjak dari posisi kami menuju titik akhir digunung Bukit tunggul. Dari orientasi peta saat itu juga kami kemudian mencoba menimbang-nimbang kembali arah perjalanan, apakah akan terus pada rencana awal menuju Bukit Tunggul atau merubah arah perjalanan sedikit kearah Timur dengan tujuan akhir Gunung Sanggara. Dalam peta yang kami bawa sebenarnya Gunung Sanggara tidak dicantumkan namanya. Tapi hanya bisa ditandai dengan sebuah puncak dengan ketinggian Kurang lebih 1800 mdpl, dan terletak persis disebelah Timur Gunung Bukit tunggul (2200 mdpl). Tapi dalam dunia kepecintaalaman dan para penggiat alam khususnya wilayah Bandung Raya, wilayah Timur Gunung Bukit tunggul, disebut dengan wilayah Sanggara, yang Identik dengan wilayah yang digemari sebagai area latihan navigasi darat baik itu pada Masa Bimbingan maupun Pendidikan Dasar. Dalam peta yang kami buka, arah perjalanan menuju Bukit Tunggul dan Gunung Sanggara memiliki karakteristik sama, yaitu kontur yang terus menanjak. Bedanya, arah perjalanan menuju Gunung Sanggara “sedikit lebih landai” dibandingkan menuju Bukit tunggul. Setelah sedikit berdiskusi, kami kemudian memutuskan untuk mengubah sudut kompas dengan menggeser sedikit arah perjalanan sekian derajat kearah Timur menuju Gunung Sanggara. Perubahan-perubahan seperti ini sangat biasa terjadi dalam kegiatan lapangan seperti Latihan Navigasi Darat yang kami lakukan. Dalam sebuah kegiatan Outdoor, segala rencana bisa berubah, tergantung kondisi Fisik dan Mental tim, cadangan logistik, cuaca, kondisi medan dan sebagainya.

Perubahan rencana yang kami lakukan juga tak lepas dari resiko-resiko baru. Setelah merubah sudut kompas dan melewati waktu tempuh kurang lebih dua jam, maka tantangan pertama kami harus turun ke wilayah yang cukup curam untuk mencapai punggungan yang dimaksud untuk menuju ke Gunung Sanggara. Samar-samar dari dalam lembahan yang akan kami tuju terdengar aliran air seperti sebuah sungai. Jendri Kurniawan kemudian berinisiatif membuka peta dan kemudian menemukan bahwasanya memang dalam lembahan tersebut mengalir sungai yang cukup deras yang diketahui masih sealiran dengan sungai Cileat. Sedikit demi sedikit dan berhati-hati kami menuruni jurang menuju aliran sungai. Setelah melewati perjalanan kurang lebih tiga setengah jam melalui perkampungan, perkebunan, Jalan setapak, sedikit tanaman rambat, maka sekarang kami resmi memasuki wilayah hutan dengan tumbuhan kayu yang menjulang tinggi tak ketinggalan tanaman rambat yang betul-betul rapat menghiasi kaki-kaki pohon tersebut. Tak urung kami mengeluarkan Golok Tramontina yang kami bawa untuk kemudian sedikit membuka jalan. Setelah sampai pada dasar Lembahan, pemandangan yang istimewa tersaji. Vegetasi yang rapat, dihiasi pohon bambu, yang menutupi aliran sungai yang ternyata mempunyai aliran yang sangat deras dan jernih. Wilayah ini mempunyai kesan eksotik karena sinar matahari sangat sulit menembus wilayah ini. Selain karena waktu yang beranjak petang, rapatnya vegetasi dan dalamnya lembahan juga turut mempengaruhi. Waktu menunjukkan pukul 17.00 dan kami kemudian memutuskan untuk mendirikan Camp kami diwilayah ini. Sangat sempurna: sepi, sejuk, dengan persediaan air yang melimpah. Setelah menandai posisi kami dalam peta, akhirnya kami membagi-bagi tugas untuk persiapan istirahat. Erja Gussandy dan Ari umar Sidik membuka Trangia untuk kemudian memasak. Saya dan Jendri Kurniawan mencoba mempersiapkan Fly Sheet. Dalam perjalanan seperti ini, dalam wilayah pegunungan yang tidak terlalu tinggi, dengan suhu yang juga tidak terlalu rendah, alih-alih tenda, Fly Sheet lebih efektif dan efisien digunakan. Fly sheet lebih cepat didirikan, lebih simple dan tidak memakan ruang bila dipacking dalam Carriel, dalam wilayah yang miring dan sesulit apapun fly sheet masih bisa didirikan dan mempunyai kenyamanan yang sama dengan tenda. Shelter sudah berdiri, sambil menunggu masakan, kami kemudian bergantian menceburkan diri dalam sungai untuk membersihkan badan. Air yang sangat deras dan jernih merupakan berkah bagi seorang pendaki gunung atau penjelajah rimba. Selain untuk keperluan makan dan minum, air juga bisa digunakan untuk mandi. Sebuah filosofi yang salah dalam sebuah perjalanan gunung dan hutan apabila kita malas untuk mandi. Karena fungsi mandi atau menggunakan air dalam membersihkan badan dalam sebuah perjalanan gunung hutan, selain untuk kebersihan juga untuk aklimatisasi atau bentuk penyesuaian diri kita terhadap suhu diwilayah itu. Lain halnya apabila kita benar-benar tidak menemukan air pada sebuah gunung yang gersang.

Setelah Selesai mandi dan menyantap makanan kami petang itu, kami kemudian mencoba bertukar pikiran dalam shelter yang kami dirikan. Mulai dari arah perjalanan, hal-hal yang serius maupun hal-hal kecil yang mengundang decak tawa diantara kami. Keakraban dalam camp ditemani minuman hangat seperti kopi, teh maupun susu, disebuah perjalanan gunung dan hutan merupakan saat-saat yang paling nikmat. Malam beranjak larut, hanya terdengar sayup-sayup lolongan khas burung malam rimba yang kami dengar. Satu per satu kami mulai terbuai dalam hangatnya Sleeping bag yang kami bawa. Sedikit terpikir oleh penulis, sebuah filosofi, ketika kita berani menuruni sebuah lembah, maka pastikan bahwa kita siap fisik dan mental untuk kemudian mendaki sebuah punggungan atau bukit. Terjalnya lembahan yang menjadi peristirahatan kami malam itu mencerminkan terjalnya jalur menuju punggungan yang akan kami lewati besok hari. Apapun itu, harus kami lakukan, karena hakikat perjalanan adalah kembali dengan selamat.

Kami terbangun oleh kicauan burung pagi yang merdu. Matahari sudah mulai menunjukkan keperkasaannya. Namun tetap saja sinarnya belum mampu betul-betul menembus dedaunan yang saling menutupi dilembah itu. Hanya sedikit yang berhasil meyelinap dibalik celah daun, memberikan semangat baru bagi kami sekaligus sebagai sarana untuk menghangatkan tubuh pagi itu. Setelah menyantap makan pagi, kami kemudian bahu membahu membereskan logistic tim dan pribadi untuk kemudian packing kembali untuk melanjutkan perjalanan. Tak lupa kami mengisi wadah air yang kami bawa untuk keperluan konsumsi selama perjalanan. Beberapa saat kemudian, kami melakukan sedikit peregangan dan pemanasan agar otot-otot kami bisa kembali menopang beban untuk perjalanan hari ini. Sejurus kemudian, kami melakukan orientasi peta dan orientasi medan, sangat jelas terlihat bagaimana terjalnya track dan rapatnya vegetasi yang akan kami hadapi pagi itu. Setelah menentukan sudut kompas yang akan kami gunakan dalam perjalanan hari itu dan kemudian berdoa sejenak, dengan golok ditangan masing-masing, langkah pertama kami ayunkan ditanah basah yang menanjak dengan beban dipunggung yang semakin berat setelah kami me-reload air tadi pagi. Semua resiko harus dijalani.

Beberapa langkah kami terasa sedikit berat pagi itu, medan yang terjal, dan vegetasi yang rapat sedikit menguras stamina. Golok tebas yang kami bawa benar-benar bekerja untuk sedikit membuka jalur yang akan kami lewati. Tapi tentunya kami masih memegang prinsip yaitu meminimalisir penggunaan golok tebas dalam perintisan jalur, hal ini dimaksudkan untuk mengurangi tingkat kerusakan hutan. Tak lupa pula sesekali kami mengeluarkan kompas untuk sekedar mengecek kembali arah perjalanan agar sesuai dengan sudut kompas yang kami tetapkan. Peta juga tak lepas dari pengamatan kami karena kami harus terus menyesuaikan kontur peta dengan keadaan sebenarnya dilapangan. Hal ini sangat-sangat membantu tim untuk mengetahui apakah kami masih berada pada jalur yang kami tentukan atau tidak.

Sedikit catatan teknis dalam perjalanan membelah suatu wilayah hutan atau gunung yang belum pernah kita jajaki sebelumnya, selain alat-alat pendukung seperti kompas, peta, GPS, alat tulis dan sebagainya, insting dan feeling kita adalah faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan arah perjalanan. Contoh kasus perjalanan kami ini, setelah menentukan sudut kompas sebagai acuan perjalanan, maka hal penting lainnya adalah terus membuka peta dan menyesuaikan dengan keadaan sebenarnya dilapangan. Bagaimana kontur yang berada disekitar kita, dalamnya lembahan atau tingginya punggungan, titik-titik triangulasi yang bisa dikenali seperti puncak bukit atau gunung, sungai dan lain sebagainya, harus bisa kita kenali bentuk dan rupanya dalam bahasa peta. Lain halnya apabila kita berada dalam wilayah vegetasi yang betul-betul rapat sehingga sulit menentukan titik-titik dilapangan yang bisa kita kenali dalam peta yang kita pakai, maka sudut kompas murni menjadi pedoman perjalanan kita. Hal yang harus diingat juga bahwasanya dalam system kerja perintisan jalur dalam hutan, kita tidak harus selalu “straight” atau kaku dengan sudut kompas yang kita pegang. Karena jalur yang ditarik lurus akan mengundang resiko kita untuk melewati dan memotong punggungan yang terjal ataupun lembahan atau jurang yang dalam. Ada saat kita harus sedikit “melambung” dari sudut kompas untuk menemukan jalur yang sedikit landai dan nyaman untuk dilewati, tentunya dengan catatan, tidak terlalu jauh melangkahi sudut kompas yang ditetapkan. Catatan penting bisa kita ambil bahwasanya dalam kondisi serba terbatas seperti perjalanan perintisan jalur yang belum pernah kita jajaki wilayahnya, Insting serta feeling anggota tim dalam menyesuaikan kondisi lapangan dengan peta sangat lah penting untuk diasah. Kreatifitas juga sangat diperlukan untuk bagaimana caranya melakukan perjalanan dengan efektif dan efisien walaupun karena dalam perjalanan seperti ini kita selalu dihadapkan pada kondisi yang sangat terbatas.

Tiga jam sudah kami lalui pagi itu. Vegetasi masih belum mau berubah wujud untuk menjadi sedikit terbuka, masih sangat rapat. Matahari sudah meninggi namun suasana disekitar kami masih terasa sejuk karena rindangnya pepohonan dengan tanah yang lembab, khas hutan hujan tropis, walaupun kontras dengan suhu tubuh kami yang sangat tinggi. Tak urung dalam beberapa kesempatan, langkah yang sudah kami ayunkan kemudian merosot kembali karena kondisi medan yang memeliki tingkat kemiringan cukup ekstrem. Stamina kami mulai terkuras, karena jalur yang terus menanjak, sesuai dengan prediksi. Karena memang elevasi titik start kami di kabupaten Subang lebih rendah dari titik finish diwilayah Gunung Sanggara perbatasan wilayah Kabupaten Sumedang dan Bandung Barat. Agak sulit melakukan resection pada posisi vegetasi yang benar-benar rapat. Tidak ada tanda-tanda medan seperti puncak bukit yang bisa kami kenali. Cara mengetahui posisi kami saat itu adalah dengan sedikit berspekulasi dengan menyesuaikan kondisi kontur peta dengan keadaan yang sebenarnya. Tepat pukul 10.00 kami memutuskan untuk beristirahat. Ari Umar Sidik yang kebetulan membawa perbekalan air yang cukup banyak terlihat letih. Setelah berisitirahat sejenak, kami kemudian melanjutkan perjalanan. Dua jam berlalu perintisan masih terus berlangsung. Kami mencari tempat untuk beristirahat kembali karena waktu meunjukkan pukul 12.00. Namun kondisi medan masih sangat tidak memungkinkan untuk beristirahat dengan nyaman karena posisi yang sangat miring. Beberapa saat kemudian kami sedikit terperanjat oleh pemandangan yang kami lihat, karena jalur kami melewati bibir tebing dengan jurang yang cukup dalam menganga dibawahnya. Sepanjang mata memandang kami hanya melihat hamparan hijau yang cukup luas. Sedikit terbesit kata syukur bahwasanya diwilayah Bandung, Subang dan sekitarnya masih menyimpan wilayah berupa “sabuk hijau” yang menjadi penopang udara dan air bersih untuk kota-kota congkak disekelilingnya. Dalam kesempatan ini pula kami dianugerahi waktu untuk orientasi peta dengan mencari titik mana dalam peta yang mempunyai kontur layaknya tebing ini. Tidak sulit untuk menemukannya, karena dalam perlintasan Cileat menuju Gunung Sanggara hanya sedikit tebing yang kami lewati. Lain halnya dengan arah perjalanan awal kami dari Gunung Cangak menuju Bukit tunggul, tebing dan jurang terjal menyebar dimana-mana. Setelah sedikit membaca peta kami kemudian mendapati apabila posisi yang kami tentukan benar, maka seharusnya dalam jarak tempuh setengah jam kami akan menemukan wilayah yang sangat landai.

Satu jam berlalu kemudian kami menemukan pemandangan menakjubkan lainnya yaitu wilayah hutan dengan kontur yang sangat kontras dengan jalur kami sebelumnya. Setelah berjam-jam melewati jalur yang sangat menanjak, kami memasuki wilayah yang sangat datar dihiasi dengan pohon-pohon raksasa yang tampak sangat tua umurnya. Kondisi hutan ini lebih lembab dari hutan yang kami lewati sebelumnya. Hawa yang kami rasakan sangat lah sejuk dan menyimpan eksotisme berbeda. Dari sebelah timur kami mendengar sayup-sayup aliran air. Disinilah kami kemudian memutuskan untuk sedikit mengambil nafas untuk beristirahat. Secangkir kopi dan teh serta “cemilan” menemani istirahat siang kami. Sudah menjadi kebiasaan, bahwasanya dalam kegiatan outdoor seperti ini kami hanya mengkonsumsi makanan berat pada petang dan pagi hari. Hal ini untuk memanfaatkan waktu siang untuk beraktifitas sekaligus meminimalisir factor “kekenyangan” pada siang hari yang bisa menyebabkan lambatnya gerakan. Sedikit mengintip kedalam peta, kami sedikit berspekulasi mengenai keberadaan kami, dengan melihat kontur terlandai dari jalur perintisan kami. Wilayah landai tersebut berada dikaki gunung yang bernama Ipis memanjang kearah gunung Sanggara. Namun dari sungai yang mengalir bisa diinterpretasikan bahwa kami berada lebih dekat dengan gunung Ipis dibandingkan gunung Sanggara. Namun dengan kontur yang cenderung landai, akan memakan waktu “hanya” kurang lebih satu atau dua jam kami akan bisa menyentuh wilayah sanggara. Tak berapa lama kami kembali melanjutkan perjalanan. Dengan medan yang tidak terlalu berat, langkah kami mengayun semakin cepat. Namun langkah demi langkah bisa semakin dinikmati. Apalagi melihat kenyataan gagahnya rimba diutara kota Bandung ini, menyisakan sedikit asa akan cadangan udara segar yang masih terjaga, ditengah memanasnya iklim dalam sepuluh tahun kebelakang, dibarengi dengan kurangnya ruang terbuka hijau di kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta dan disempurnakan oleh kebijakan pemerintah kota untuk menebang pohon-pohon tua yang berdiri ditengah kota Bandung sebagai korban kebijakan pelebaran jalan yang sudah tidak lagi mampu menampung kuantitas kendaraan bermotor yang ironisnya menjadi penyumbang terbesar polusi udara.

Satu jam berlalu kami kemudian melihat sedikit celah terbuka diantara pepohonan, sekilas tampak Gunung dengan puncak yang cukup tinggi berada disebelah barat kami. Dari peta bisa dilihat bahwa apabila jalur yang kami lalui sesuai rencana, maka puncak yang berada disebelah barat kami seharusnya adalag Gunung Bukit Tunggul. Dan apabila puncak bukit tunggul tersebut tepat berada di Barat maka seharusnya sisi sebelah timur kami tepat bersebelahan dengan Gunung Sanggara. Dari kontur yang dilihat dipeta sebenarnya bisa ditarik kesimpulan kami sudah memasuki wilayah yang dikenal dengan Gunung Sanggara. Dan bila tak ada aral melintang maka seharusnya kami akan melewati batas vegetasi dan berjumpa dengan perkebunan Kina setengah jam kedepan.

Kurang lebih pukul 15.00, Langkah yang semakin cepat seiring dengan semangat yang menggebu ketika kami mulai menapaki wilayah yang ditumbuhi ilalang dengan vegetasi yang mulai terbuka. Disisi sebelah timur kami dengan gagahnya berdiri Gunung Sanggara. Dari hati kami sebenarnya sudah bisa disimpulkan bahwasanya perjalanan kami merintis Jalur dari Cileat menuju Gunung Sanggara sudah hampir usai. Tak lama kemudian tampak perkebunan Kina membentang didepan mata. Jalan setapak sudah bisa kami jajaki. Ada sedikit perasaan bangga karena rencana perjalanan yang semula direncanakan 2-3 hari bisa ditembus dengan hanya satu setengah hari saja. Akibatnya persediaaan logistic untuk keperluan konsumsi kami menjadi berlebih karena kami menyediakan bahan makanan untuk 5 hari perjalanan sesuai dengan Safety Procedure yang berlaku. Akhirnya kami memutuskan bermalam dikaki Gunung Bukit Tunggul dengan alasan masih mempunyai persediaan bahan makanan yang cukup. Malam itu, dibawah naungan Fly Sheet, dalam hati penulis kembali terbesit kebanggaan berhasil menembus salah satu bagian hutan terbesar diwilayah Bandung Utara, disertai ironisme kelebat bayangan yang ditangkap selama perjalanan yang menimbulkan pertanyaan : Sampai kapan hutan nan gagah diujung jalan Bandung Utara ini akan bertahan melawan kebijakan-kebijakan yang tampaknya kurang bijaksana? Karena suka atau tidak suka, sadar atau tidak sadar, oksigen yang kita hirup setiap harinya di Kota Bandung yang terus menerus bersolek tanpa memperhatikan aspek keseimbangan lingkungan disumbangkan oleh sisa sabuk hijau Bandung Utara ini.

(Bandung, akhir 2013)

Pendaki dan Social Media

Sepuluh tahun yang lalu, saya memulai pendakian yang pertama. Gunung Ciremai diujung Desember saat itu, kala kami mencoba menyalakan perapian ditengah dingin yang menusuk dan gelap yang mendekap. Sehabis hujan dikelilingi tebing yang membeku, tempat yang sempurna untuk sekedar menghindari kami dari angin kencang akhir tahun. Api yang mulai berpendar malu-malu diselingi bercangkir-cangkir kopi menyela obrolan ringan kami saat itu. Tidak terlalu lama hingga pembicaraan mulai mengarah pada sharing pengalaman diantara kami. Saya yang saat itu merupakan anggota yang paling minim pengalaman tak mampu banyak berbicara kecuali mendengar. Cerita bagaimana para sahabat pernah terjebak badai diatas sebuah pelana kuda punggungan gunung. Bagaimana mereka merangkak kemudian meringkuk untuk sekedar menyelamatkan diri dari terpaan angin yang bisa membahayakan nyawa. Bagaimana jalur-jalur pendakian disebuah gunung tidaklah terlalu jelas, kehilangan arah perjalanan, melakukan resection hingga akhirnya menemukan jalan pulang. Semua kisah-kisah yang terkesan misterius bagi saya yang minim pengalaman. Cerita yang keluar begitu saja dari tengah lingkaran kami dengan api sebagai titik pusat malam itu. Sejenak kemudian, salah satu sahabat kami mengeluarkan camera digital menunjukkan foto-foto saat mereka terjebak badai saat itu. Masih mengenakan “kupluk” dan jaket “gore-tex” hasil hunting dipasar second yang sangat terkenal saat itu dikalangan pendaki gunung.

Satu hal yang membuat saya mengingat moment di Ciremai saat itu adalah imajinasi. Kisah-kisah yang didendangkan malam itu beserta perangkat pendukungnya berupa foto-foto membuat imajinasiku bergerak liar membayangkan seperti apa sebenarnya suasana pendakian saat mereka terjebak badai. Foto-foto tak mampu berbicara banyak karena selain jumlahnya sangat terbatas, tidak ada “caption” yang tertera dibawah foto tersebut.

Beberapa bulan selanjutnya saya secara spartan mengumpulkan informasi mengenai kegiatan pendakian melalui wawancara-wawancara baik resmi ataupun tidak dan mengikuti seminar-seminar hasil kegiatan ekspedisi. Rasa ingin tahu saya pada pendakian gunung meningkat drastis. Menapaki lembah dan punggungan, menyusuri kanopi hutan yang lebat, menghirup aroma belerang dipuncak-puncak gunung, menjadi kegiatan rutin saat itu. Gunung menyimpan sisi mistis yang entah bagaimana tercipta akibat perpaduan ekosistem liarnya dengan langkah-langkah kaki manusia yang saat itu masih sangat terbatas keberaniannya untuk mendaki gunung.

Mulai beberapa tahun belakangan, bertaburan kisah-kisah pendakian berikut dokumentasi lengkapnya berupa foto ber-caption maupun video di situs Internet maupun media social. Informasi dan pegalaman siapapun bisa dengan mudah diakses tanpa harus membuka mulut ataupun mengadakan seminar. Semakin banyak manusia-manusia terinspirasi untuk lebih dekat dengan dunia pendakian gunung karena melihat kisah perjalanan yang apik disajikan di social media.

Awal tahun 2014, saya berkesempatan mengunjungi gunung Prau di Dieng Jawa Tengah. Sebuah gunung yang konon mulai dikenal para pendaki juga akibat ekspose dari social media. Apa yang saya rasakan saat pendakian saat itu masih tidak berubah dengan rasa yang dikecap saat pertama kali menjejak ciremai sepuluh tahun lalu. Gunung-gunung akan selalu sama baik dari tantangan alam, cuaca maupun keindahan landscape-nya. Yang membedakannya hanyalah cara sharing pengalamannya. Alih-alih bercerita secara verbal kepada para sahabat tentang bagaimana saya mengunjungi gunung Prau, saya malah menuliskan cerita perjalanan di Blog ini serta mem-posting foto-foto pendakian diberbagai social media.

Apa yang salah dengan social media dengan hubungannya pada para pendaki sebagai usernya? Tidak ada yang salah, ekosistem hutan dan gunung akan selalu sama, tantangannya sama, cuaca yang fluktuatif diketinggian juga selalu sama. Suka duka pendakian yang dialami para pendaki saat ini dengan pendaki sepuluh hingga berpuluh-puluh tahun kebelakang juga mempunyai sensasi yang serupa. Hutan dan gunung tidak akan serta merta rusak hanya karena meningkatnya intensitas pendakian yang disinyalir dibantu oleh ekspose media social. Bahkan dari sisi yang berlawanan, sosial media banyak memfasilitasi berdirinya perkumpulan-perkumpulan pendaki yang lebih peduli dengan lingkungan. Internet dengan social medianya juga turut andil dalam membuka tabir hutan dan gunung yang mulai mengalami kerusakan dengan berbagai sebab. Social media juga ikut menyuarakan gerakan-gerakan pendaki yang coba melakukan aksi pencegahan kerusakan ekosistem hutan.

Tulisan ini bukanlah mencari-cari apa yang benar dan yang salah dari hubungan pendaki gunung dengan perkembangan teknologi dalam hal ini sosial media. Tulisan ini hanya bermuatan ketidakseimbangan hati saya yang mencoba menerima apapun perkembangan dalam dunia pendakian gunung dan Penjelajahan hutan yang mulai saya cintai sepuluh tahun lalu. Saya hanya sedikit rindu pada romantisme pendaki dahulu yang dengan gagahnya menceritakan pengalaman-pengalaman hebat selama pendakian kepada manusia lain yang belum pernah mengalaminya, melalui bahasa verbal dan bukan melulu melalui teknologi visual yang berkembang hebat belakangan ini. Karena saya rindu pada cerita-cerita dimalam yag dingin didepan api unggun yang menghangatkan, mencoba berkisah tentang perjalanan yang mengembangkan imajinasi dan sensasi berbeda pada bagi mendengarkan tanpa ditopang oleh gambaran-gambaran audio visual yang secara tidak langsung turut mengkotak-kotakkan pandangan kita tentang sebuah perjalanan dan bahkan pada efek yang lebih buruk lebih mengesankan nilai “pamer” dibandingkan dengan berbagi tentang nilai-nilai filosofi sebuah pendakian gunung.

Saya tidak berusaha meng-counter slogan “life is to share”, juga sama sekali tidak mengecilkan bahasa “curahan hati” teknologi modern baik itu tulisan, audio maupun visual yang terangkum dalam social media. Social media maupun para pendaki bisa berjalan beriringan dan saling memberikan manfaat satu sama lain tanpa harus saling cemburu akan fungsi masing-masing. Karena saya masih percaya bahwa pendakian gunung dan penjelajahan hutan akan tetap merupakan sebuah pengalaman akan perjalanan spiritual yang berkesan secara pribadi dan tak akan pernah bisa diwakili oleh media lain secara utuh termasuk sosial media. Dan sekali lagi saya rindu akan bahasa verbal antara pendaki yang sudah mulai luntur walaupun api unggun dan dingin malam di gunung akan selalu ada. Secara egois saya juga hanya sedikit khawatir akan dunia pendaki gunung yang mulai kehilangan ekslusifitasnya karena salah satu efek kurang baik dari sosial media. If you know what i mean.. (Yogyakarta, April 2015)

Gunung Prau : Pagar Raksasa Dieng Plateau

Perjalanan yang hampir tanpa perencanaan matang kami arahkan menuju dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah. Setelah bertolak dari Yogyakarta dan menempuh perjalanan empat jam melalui Magelang – Temanggung – Wonosobo, sesaat sebelum ashar kendaraan roda dua yang kami tumpangi menjejak aspal Dieng, wilayah dengan ketinggian 2000 mdpl. Saya dan Jendri Kurniawan beserta istri kami masing-masing, sepakat mengelilingi tempat wisata di wilayah “super dingin” Dieng dalam waktu satu hari saja.

Setelah berkeliling Dieng selama 3 jam dengan roda dua dan “hampir” menghabiskan seluruh tempat wisata di Dieng, destinasi terakhir malam itu kami arahkan menuju gunung Perahu atau yang biasa disebut “Prau” oleh penduduk lokal. Logistik yang kami bawa memang mumpuni untuk melakukan “camping satu malam” di wilayah manapun. Jadi walaupun bisa dikatakan hampir tidak direncanakan, pendakian gunung Prau kami sepakati sebagai hidangan penutup wisata Dieng saat itu.

Gunung Prahu atau gunung Prau  dengan ketinggian +/- 2500 mdpl bukanlah sebuah tujuan pendakian yang prestise bagi pendaki, khususnya  pendaki dari luar Jawa Tengah. Alasan utamanya tentu saja karena gunung ini tidak mempunyai kawah aktif. Juga akses yang dianggap mudah karena Prau dan Dieng sebgai “pintu rimba” hanya memiliki beda tinggi 500 m saja. Selain itu, Prau sebenarnya kurang “tepat” disebut gunung. Bentuk dan rupa “gunung” ini dilihat secara kasat mata dari wilayah Dieng lebih mendekati sebagai “sadel” atau wilayah pertemuan beberapa punggungan bukit.  Wilayah puncaknya yang memanjang sangat jauh dari kesan umum sebuah gunung yang biasa terlihat “mengerucut”.

Kami memilih jalur pendakian melalui sisi Barat gunung. Ada banyak jalur menuju puncak Prau, kita tinggal memilih, sisi puncak sebelah mana yang akan kita tuju. Malam yang cukup dingin saat itu ketika kami melangkah meninggalkan Desa Dieng menuju puncak gunung Prau. Tidak banyak yang bisa direkam oleh mata telanjang pada pendakian malam. Setelah terlebih dahulu melewati pemakaman umum, kami kemudian melewati wilayah perkebunan penduduk. Wilayah ini sangat mudah dikenali karena menebarkan aroma khas akibat percampuran bau tanah gembur dan pupuk.

Setengah jam perjalanan kami memasuki wilayah hutan cemara. Suara yang ditimbulkan pohon akibat gesekan dengan angin membuat suasana pendakian makin bergairah. Jalur pendakian gunung Prau tidak berbeda jauh dengan gunung-gunung pada umumnya. Terdiri dari tangga alam yang dibentuk oleh akar-akar dengan jurang di kiri kanannya dengan sedikit “bonus” alias jalur landai. Satu jam kami lalui, angin mulai berhembus kencang sehingga tubuh kami mulai bereaksi terhadap dingin. Kami sempat melalui tanda perbatasan wilayah antara kabupaten Wonosobo dan Batang, Jawa Tengah. Walaupun jarak tempuh pendakian tergolong pendek, namun suhu udara di punggungan Prau cukup rendah karena ketinggiannya yang membentang dari 2000 hingga 2500 mdpl pada puncaknya.

Image

Hampir dua jam pendakian, kami memasuki wilayah dengan vegetasi yang jarang, membuat angin semakin kuat menerpa tubuh, suhu udara pun terasa semakin menurun. Tepat dua jam, kami kemudian menginjak salah satu titik tertinggi dari sadel atau gunung yang disebut Prau ini. Beberapa tower berdiri tegak menantang angin di titik tersebut. Mengeluarkan bunyi-bunyian akibat benturan bahan-bahan logam dengan angin kencang yang menerpa puncak Prau. Cuaca yang berangin namun cukup cerah malam itu membuat jarak pandang kami cukup luas sehingga memungkinkan untuk sedikit melakukan orientasi medan disekeliling.

Puncak gunung prau yang bebentuk memanjang dengan jurang menganga dikiri kanannya memang mempunyai titik-titik dengan ketinggian yang berbeda walaupun tidak mempunyai selisih yang besar. Puncak sebelah Barat, tempat kami berada saat itu ditandai dengan berdirinya beberapa tower. Memanjang ke arah Timur, terdapat beberapa titik puncak yang lain dengan sisi terjauhnya berbatasan langsung dengan gunung Sindoro. Puncak Prau merupakan bidang datar yang terbuka dengan hanya dihiasi tumbuhan perdu, sehingga membuat resiko diterpa angin kencang maupun badai semakin tinggi.

Sisi selatan puncak gunung Prau yang berupa lembah yang cukup dalam bergandengan langung dengan wilayah Dieng. Dari puncak Prau bisa dilihat langsung bentuk Plato atau dataran pada ketinggian yang dikelilingi oleh bukit-bukit yang lebih tinggi. Bentuknya seperti mangkuk layaknya kota Bandung namun memiliki ketinggian tiga kali lipat kota Bandung. Sisi Utara Prau berupa jurang yang dalam dan berbatasan langsung dengan wilayah pantai Utara Jawa Tengah seperti Kendal dan Batang maupun Semarang di bagian paling Timur. Dari titik tertinggi ini bisa dilihat dengan kasat mata bagaimana wilayah Prau layaknya pagar raksasa wilayah Dieng yang membatasi langsung dengan wilayah utara Jawa Tengah. Prau juga berfungsi sebagai penyangga alamiah bagi Dieng dengan wilayah Utara yang berada jauh di bawahnya.

Malam itu kami habiskan dengan beristirahat dalam tenda. Lewat tengah malam angin bertiup semakin kencang disempurnakan dengan hujan cukup deras yang setia menemani hingga waktu Shubuh tiba.

Image

“Puncak Tower gunung Prau menghadap arah Timur dengan latar belakang gunung Sindoro (2 April 2014)”

Image

“Puncak Prau menghadap Utara. (1 April 2014)”

Keesokan harinya pagi menjelang siang kami meniti jalan turun menuju Dieng melewati jalur yang sama dengan pendakian hari sebelumnya. Dalam perjalan turun kami sempat mengabadikan tanaman Carica, kerabat dari tanaman pepaya dengan buah yang hampir identik namun dengan kandungan vitamin C lebih tinggi yang tumbuh subur di wilayah Dieng.

Kurang dari satu jam, kami kemudian sudah kembali menjejak desa Dieng. Pendakian gunung Prau menyisakan sensasi yang berbeda dalam eksplorasi wisata wilayah Dieng. Gunung Prau bisa dijadikan destinasi pendakian yang unik saat kita secara sengaja maupun tidak berada di wilayah Dieng. Jalur pendakian yang mudah dijangkau, bantang alam yang tidak begitu ekstrem, waktu tempiuh pendakian yang pendek dengan keindahan pemandangan dari puncak Prau yang tidak kalah dengan gunung-gunung yang lebih tinggi membuat gunung Prau sangat direkomendasikan untuk dijadikan arena pendakian baik untuk pendaki yang berpengalaman maupun yang minim pengalaman. Bahkan Prau pun bisa dijangkau oleh pendaki-pendaki  “keluarga”, tentunya dengan peralatan yang “tetap” dan harus menunjang. 

(Yogyakarta, 11 April 2014)

Kisah kota Pekanbaru, 13 Maret 2014.

IPU Pekanbaru

 

Dalam perjalanan darat Dumai – Pekanbaru. Kendaraan yang melintas harus ekstra hati-hati karena jarak pandang tidak lebih dari 100 meter akibat kabut asap yang menyelimuti. Lampu utama kendaraan yang dinyalakan tidak banyak membantu karena tebalnya asap.

Pukul 15.00 WIB, memasuki wilayah Rumbai, Pekanbaru. Stadion Rumbai yang terletak disisi jalan tidak terlihat karena terhalang asap yang sangat pekat. Memasuki wilayah pusat kota, alat-alat yang menerangkan tentang indeks pencemaran udara di Pekanbaru melewati batas hitam atau masuk kategori “Berbahaya”.

Melalui obrolan singkat dengan kerabat yang sejak lahir hidup di kota Pekanbaru, diketahui bahwa 13 Maret 2014, situasi kabut asap yang menyergap mencapai titik “terparah” dalam tujuh belas tahun “penjajahan” asap diwilayah Riau.

Tak berguna lagi hitungan matematis tentang berapa kerugian dibidang ekonomi akibat kabut asap. Yang harus diingat saat ini adalah hak utama manusia untuk bernapas secara sehat telah terenggut oleh titik-titik merah keserakahan yang ditangkap oleh satelit. Menurut Metro TV (13/3/2014), kondisi Oksigen murni di kota Pekanbaru hanya tersisa 1 %.

Hari itu, bandara SSK II Pekanbaru telah ditutup, perjalanan darat mengandung resiko besar sehingga para pejabat Negara yang talah menyatakan bahwa kabut asap adalah “bencana darurat nasional”  sangat sulit atau memang “tidak mau” datang melihat keadaan sebanarnya di kota ini. Kata “Bencana” yang digunakan tampak seperti propaganda yang seakan coba mengaburkan apa penyebab utama kabut asap. Kabut asap akibat kebakaran lahan saat ini sangat jauh dari definisi bencana.

Pekanbaru, 13 Maret 2014, tim yang dibentuk oleh pemerintah untuk menanggulangi kebakaran lahan penyebab kabut asap tampak “mati akal” dan hanya berharap datangnya hujan. Aktifis lingkungan dan aktifis sosial tak mampu berbuat apa-apa selain membagikan masker di-perempatan-perampatan jalan.  Kurang lebih 48.000 jiwa masyarakat menurut data  dari berbagai Rumah Sakit di Pekanbaru, mengidap Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).

Pekanbaru, 13 Maret 2014, segelintir orang masih dengan “asyiknya” membakar sampah dipinggir jalan. Sebagian masyarakat dengan memakai masker seakan-akan peduli dengan kesehatannya, masih tampak sibuk menghisap asap tembakau. Di lain lokasi, Walikota Pekanbaru menyarankan agar ibu hamil dan balita diungsikan keluar kota.

Pekanbaru, 13 Maret 2014, tersiar kabar melalui media Televisi bahwa Presiden RI bernama Susilo Bambang Yudhoyono  resmi mengambil cuti tugas selama dua hari untuk ikut berkampanye dalam pemilu legistlatif.

Kabut asap di Pekanbaru, 13 Maret 2014 seakan turut melukiskan semua “perilaku aneh” sebagian masyarakat Indonesia yang diselimuti keserakahan yang datang dan pergi dengan segala konsekuensinya.