Catatan Perjalanan Usang: Cileat – Ipis – Sanggara, Sisa Sabuk Hijau Bandung Utara.

26012010152

Agak sulit dalam menemukan kata-kata yang pas untuk menggambarkan perjalanan ini. Sekian tahun lalu perjalanan ini dilaksanakan, namun baru sekarang coba dituangkan dalam bentuk laporan perjalanan disitus ini. Sehingga munculah kata “Usang” terselip dari judul diatas. Usang, karena penulis terkesan lambat menuangkan kisah perjalanan ini. Tapi disuatu sore, dengan segelas kopi sempurna yang diseduh dari air yang baru dididihkan, terpikir oleh penulis kondisi terakhir hutan wilayah bandung utara yang secara kasat mata, diakhir tahun 2011 mulai beralih fungsi dari hutan menjadi perkebunan kopi. Maka tak ada salahnya diputuskan untuk sedikit menggunakan keyboard Personal Computer dalam rangka mengabadikan wilayah Bandung Utara yang dulu pernah dijajaki, siapa tahu berguna dan bermanfaat untuk sedikit kampanye lewat tulisan melawan kebijakan pemerintah yang mungkin bisa saja meluluh-lantakan keperkasaan hutan Bandung Utara. Tulisan ini juga merupakan repost dari tulisan saya yang sama di mapakalam.org Cukup Basa-basinya.

Pagi itu disuatu bulan awal tahun 2010, kami, empat orang personil dari organisasi Mahasiswa Pecinta Kelestarian Alam (MAPAK ALAM) beranggotakan Jendri Kurniawan (Banyu Sagara 07), M. Rizki Mandiri (Banyu Sagara 07), Ari Umar Sidik (Rimba Raya 08) dan Erja Gussandy (Ketua Umum MAPAK ALAM 2012-2013) sibuk mempersiapkan perjalanan yang telah disepakati. Beberapa hari sebelumnya kami berempat sempat terlibat diskusi kecil dengan kang Benyamin VH (Angin Kabut ’84) atau yang dikenal sebagai kang Benyo, tentang rencana perjalanan sekaligus latihan untuk mengasah ilmu Gunung Hutan khususnya Navigasi Darat. Rencana awal yang disepakati adalah perintisan jalur dari titik awal gunung Cangok, cisalak, Kabupaten Subang, menuju gunung Bukit Tunggul, Lembang, Bandung Barat. Jadilah pada pagi itu, di sekretariat MAPAK ALAM, kami mempersiapkan semua perlengkapan tim maupun pribadi yang biasa digunakan dalam pendakian gunung ataupun penjelajahan hutan. Tak lupa kami memeriksa kembali senjata utama kami dalam sebuah perjalanan gunung hutan, yaitu: peta, kompas, alat tulis serta alat bantu Global Positioning System (GPS). Peta yang rencananya akan kami gunakan sendiri adalah peta keluaran Bakosurtanal meliputi sebagian kecil wilayah Kabupaten Subang, Bandung Barat dan Sumedang dengan skala 1 : 25.000 dan menggunakan koordinat geografis. Setelah merasa siap dari segi perlengkapan, tim melakukan briefing kecil dengan kang Benyo yang memang berniat mengantarkan kami menuju titik awal perjalanan. Dalam briefing tersebut, setelah sedikit melakukan orientasi peta, terjadi perubahan arah perjalanan, dengan alasan lintasan perjalanan awal (Gunung Cangak – Bukit tunggul) terlalu curam, banyak melintasi tebing, dan vegetasi yang terlalu rapat, sehingga memerlukan waktu yang lama untuk melakukan perintisan jalur di wilayah itu. Akhirnya disepakati kami merubah titik awal perjalanan sedikit kearah barat gunung Cangok, yaitu Wilayah cileat yang terkenal dengan wisata Air terjunnya dengan titik akhir perjalanan di Gunung Bukit Tunggul.

Pagi yang cerah hari itu, kala kami dengan ditemani oleh kang Benyamin VH, diantar oleh kendaraan milik Universitas Pasundan berjenis Elf, membelah kota Bandung dan bergerak menuju utara. Setelah sempat berhenti sejenak di Pasar Lembang untuk re-check logistic, kurang lebih satu setengah jam perjalanan akhirnya kami tiba di wilayah Cileat, Cisalak kabupaten Subang. Singkat kata, setelah kembali memeriksa perlengkapan, sedikit orientasi medan serta berdoa bersama memohon keselamatan akhirnya, pukul 13.00, kami ber-empat memulai perjalanan, Sedangkan kang Benyo bertolak lagi menuju kota Bandung. Hujan deras menyambut kami siang itu. Dengan bersenjatakan Raincoat, kami dengan penuh semangat mengayun langkah demi langkah melewati rumah-rumah penduduk. Hujan yang tak kunjung berhenti dan kabut tipis tak menyurutkan semangat kami. Kurang lebih satu jam perjalanan akhirnya kami sampai pada wilayah perkebunan dan disambut oleh “Curug” atau air terjun. Tiga curug yang berdekatan posisinya sedikit menyejukkan mata kami. Dengan rata-rata tinggi curug kurang lebih 20-25 Meter dengan kucuran air yang cukup deras, momen ini merupakan saat yang tepat untuk dokumentasi perjalanan. Wilayah Cileat memang terkenal dengan banyaknya air terjun yang tersebar baik diwilayah perkebunan masyarakat maupun yang terletak dalam wilayah hutan. Curug atau air terjun yang terkenal sebagai tempat wisata diwilayah ini adalah curug Cileat, letaknya agak menjorok kedalam hutan. Dari peta yang kami gunakan, bila melihat rencana lintasan perjalanan, maka Curug Cileat berada disisi sebelah barat kami. Setelah sedikit mengambil foto untuk keperluan dokumentasi, selanjutnya kami kembali melakukan Resection (menentukan posisi kita di peta), untuk memastikan posisi kami apakah masih berada pada jalur yang direncanakan atau tidak. Setelah mengetahui posisi kami dalam peta kemudian kami mencoba kembali untuk orientasi peta. Dari orientasi peta yang kami lakukan, bisa terlihat medan yang terus menanjak dari posisi kami menuju titik akhir digunung Bukit tunggul. Dari orientasi peta saat itu juga kami kemudian mencoba menimbang-nimbang kembali arah perjalanan, apakah akan terus pada rencana awal menuju Bukit Tunggul atau merubah arah perjalanan sedikit kearah Timur dengan tujuan akhir Gunung Sanggara. Dalam peta yang kami bawa sebenarnya Gunung Sanggara tidak dicantumkan namanya. Tapi hanya bisa ditandai dengan sebuah puncak dengan ketinggian Kurang lebih 1800 mdpl, dan terletak persis disebelah Timur Gunung Bukit tunggul (2200 mdpl). Tapi dalam dunia kepecintaalaman dan para penggiat alam khususnya wilayah Bandung Raya, wilayah Timur Gunung Bukit tunggul, disebut dengan wilayah Sanggara, yang Identik dengan wilayah yang digemari sebagai area latihan navigasi darat baik itu pada Masa Bimbingan maupun Pendidikan Dasar. Dalam peta yang kami buka, arah perjalanan menuju Bukit Tunggul dan Gunung Sanggara memiliki karakteristik sama, yaitu kontur yang terus menanjak. Bedanya, arah perjalanan menuju Gunung Sanggara “sedikit lebih landai” dibandingkan menuju Bukit tunggul. Setelah sedikit berdiskusi, kami kemudian memutuskan untuk mengubah sudut kompas dengan menggeser sedikit arah perjalanan sekian derajat kearah Timur menuju Gunung Sanggara. Perubahan-perubahan seperti ini sangat biasa terjadi dalam kegiatan lapangan seperti Latihan Navigasi Darat yang kami lakukan. Dalam sebuah kegiatan Outdoor, segala rencana bisa berubah, tergantung kondisi Fisik dan Mental tim, cadangan logistik, cuaca, kondisi medan dan sebagainya.

Perubahan rencana yang kami lakukan juga tak lepas dari resiko-resiko baru. Setelah merubah sudut kompas dan melewati waktu tempuh kurang lebih dua jam, maka tantangan pertama kami harus turun ke wilayah yang cukup curam untuk mencapai punggungan yang dimaksud untuk menuju ke Gunung Sanggara. Samar-samar dari dalam lembahan yang akan kami tuju terdengar aliran air seperti sebuah sungai. Jendri Kurniawan kemudian berinisiatif membuka peta dan kemudian menemukan bahwasanya memang dalam lembahan tersebut mengalir sungai yang cukup deras yang diketahui masih sealiran dengan sungai Cileat. Sedikit demi sedikit dan berhati-hati kami menuruni jurang menuju aliran sungai. Setelah melewati perjalanan kurang lebih tiga setengah jam melalui perkampungan, perkebunan, Jalan setapak, sedikit tanaman rambat, maka sekarang kami resmi memasuki wilayah hutan dengan tumbuhan kayu yang menjulang tinggi tak ketinggalan tanaman rambat yang betul-betul rapat menghiasi kaki-kaki pohon tersebut. Tak urung kami mengeluarkan Golok Tramontina yang kami bawa untuk kemudian sedikit membuka jalan. Setelah sampai pada dasar Lembahan, pemandangan yang istimewa tersaji. Vegetasi yang rapat, dihiasi pohon bambu, yang menutupi aliran sungai yang ternyata mempunyai aliran yang sangat deras dan jernih. Wilayah ini mempunyai kesan eksotik karena sinar matahari sangat sulit menembus wilayah ini. Selain karena waktu yang beranjak petang, rapatnya vegetasi dan dalamnya lembahan juga turut mempengaruhi. Waktu menunjukkan pukul 17.00 dan kami kemudian memutuskan untuk mendirikan Camp kami diwilayah ini. Sangat sempurna: sepi, sejuk, dengan persediaan air yang melimpah. Setelah menandai posisi kami dalam peta, akhirnya kami membagi-bagi tugas untuk persiapan istirahat. Erja Gussandy dan Ari umar Sidik membuka Trangia untuk kemudian memasak. Saya dan Jendri Kurniawan mencoba mempersiapkan Fly Sheet. Dalam perjalanan seperti ini, dalam wilayah pegunungan yang tidak terlalu tinggi, dengan suhu yang juga tidak terlalu rendah, alih-alih tenda, Fly Sheet lebih efektif dan efisien digunakan. Fly sheet lebih cepat didirikan, lebih simple dan tidak memakan ruang bila dipacking dalam Carriel, dalam wilayah yang miring dan sesulit apapun fly sheet masih bisa didirikan dan mempunyai kenyamanan yang sama dengan tenda. Shelter sudah berdiri, sambil menunggu masakan, kami kemudian bergantian menceburkan diri dalam sungai untuk membersihkan badan. Air yang sangat deras dan jernih merupakan berkah bagi seorang pendaki gunung atau penjelajah rimba. Selain untuk keperluan makan dan minum, air juga bisa digunakan untuk mandi. Sebuah filosofi yang salah dalam sebuah perjalanan gunung dan hutan apabila kita malas untuk mandi. Karena fungsi mandi atau menggunakan air dalam membersihkan badan dalam sebuah perjalanan gunung hutan, selain untuk kebersihan juga untuk aklimatisasi atau bentuk penyesuaian diri kita terhadap suhu diwilayah itu. Lain halnya apabila kita benar-benar tidak menemukan air pada sebuah gunung yang gersang.

Setelah Selesai mandi dan menyantap makanan kami petang itu, kami kemudian mencoba bertukar pikiran dalam shelter yang kami dirikan. Mulai dari arah perjalanan, hal-hal yang serius maupun hal-hal kecil yang mengundang decak tawa diantara kami. Keakraban dalam camp ditemani minuman hangat seperti kopi, teh maupun susu, disebuah perjalanan gunung dan hutan merupakan saat-saat yang paling nikmat. Malam beranjak larut, hanya terdengar sayup-sayup lolongan khas burung malam rimba yang kami dengar. Satu per satu kami mulai terbuai dalam hangatnya Sleeping bag yang kami bawa. Sedikit terpikir oleh penulis, sebuah filosofi, ketika kita berani menuruni sebuah lembah, maka pastikan bahwa kita siap fisik dan mental untuk kemudian mendaki sebuah punggungan atau bukit. Terjalnya lembahan yang menjadi peristirahatan kami malam itu mencerminkan terjalnya jalur menuju punggungan yang akan kami lewati besok hari. Apapun itu, harus kami lakukan, karena hakikat perjalanan adalah kembali dengan selamat.

Kami terbangun oleh kicauan burung pagi yang merdu. Matahari sudah mulai menunjukkan keperkasaannya. Namun tetap saja sinarnya belum mampu betul-betul menembus dedaunan yang saling menutupi dilembah itu. Hanya sedikit yang berhasil meyelinap dibalik celah daun, memberikan semangat baru bagi kami sekaligus sebagai sarana untuk menghangatkan tubuh pagi itu. Setelah menyantap makan pagi, kami kemudian bahu membahu membereskan logistic tim dan pribadi untuk kemudian packing kembali untuk melanjutkan perjalanan. Tak lupa kami mengisi wadah air yang kami bawa untuk keperluan konsumsi selama perjalanan. Beberapa saat kemudian, kami melakukan sedikit peregangan dan pemanasan agar otot-otot kami bisa kembali menopang beban untuk perjalanan hari ini. Sejurus kemudian, kami melakukan orientasi peta dan orientasi medan, sangat jelas terlihat bagaimana terjalnya track dan rapatnya vegetasi yang akan kami hadapi pagi itu. Setelah menentukan sudut kompas yang akan kami gunakan dalam perjalanan hari itu dan kemudian berdoa sejenak, dengan golok ditangan masing-masing, langkah pertama kami ayunkan ditanah basah yang menanjak dengan beban dipunggung yang semakin berat setelah kami me-reload air tadi pagi. Semua resiko harus dijalani.

Beberapa langkah kami terasa sedikit berat pagi itu, medan yang terjal, dan vegetasi yang rapat sedikit menguras stamina. Golok tebas yang kami bawa benar-benar bekerja untuk sedikit membuka jalur yang akan kami lewati. Tapi tentunya kami masih memegang prinsip yaitu meminimalisir penggunaan golok tebas dalam perintisan jalur, hal ini dimaksudkan untuk mengurangi tingkat kerusakan hutan. Tak lupa pula sesekali kami mengeluarkan kompas untuk sekedar mengecek kembali arah perjalanan agar sesuai dengan sudut kompas yang kami tetapkan. Peta juga tak lepas dari pengamatan kami karena kami harus terus menyesuaikan kontur peta dengan keadaan sebenarnya dilapangan. Hal ini sangat-sangat membantu tim untuk mengetahui apakah kami masih berada pada jalur yang kami tentukan atau tidak.

Sedikit catatan teknis dalam perjalanan membelah suatu wilayah hutan atau gunung yang belum pernah kita jajaki sebelumnya, selain alat-alat pendukung seperti kompas, peta, GPS, alat tulis dan sebagainya, insting dan feeling kita adalah faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan arah perjalanan. Contoh kasus perjalanan kami ini, setelah menentukan sudut kompas sebagai acuan perjalanan, maka hal penting lainnya adalah terus membuka peta dan menyesuaikan dengan keadaan sebenarnya dilapangan. Bagaimana kontur yang berada disekitar kita, dalamnya lembahan atau tingginya punggungan, titik-titik triangulasi yang bisa dikenali seperti puncak bukit atau gunung, sungai dan lain sebagainya, harus bisa kita kenali bentuk dan rupanya dalam bahasa peta. Lain halnya apabila kita berada dalam wilayah vegetasi yang betul-betul rapat sehingga sulit menentukan titik-titik dilapangan yang bisa kita kenali dalam peta yang kita pakai, maka sudut kompas murni menjadi pedoman perjalanan kita. Hal yang harus diingat juga bahwasanya dalam system kerja perintisan jalur dalam hutan, kita tidak harus selalu “straight” atau kaku dengan sudut kompas yang kita pegang. Karena jalur yang ditarik lurus akan mengundang resiko kita untuk melewati dan memotong punggungan yang terjal ataupun lembahan atau jurang yang dalam. Ada saat kita harus sedikit “melambung” dari sudut kompas untuk menemukan jalur yang sedikit landai dan nyaman untuk dilewati, tentunya dengan catatan, tidak terlalu jauh melangkahi sudut kompas yang ditetapkan. Catatan penting bisa kita ambil bahwasanya dalam kondisi serba terbatas seperti perjalanan perintisan jalur yang belum pernah kita jajaki wilayahnya, Insting serta feeling anggota tim dalam menyesuaikan kondisi lapangan dengan peta sangat lah penting untuk diasah. Kreatifitas juga sangat diperlukan untuk bagaimana caranya melakukan perjalanan dengan efektif dan efisien walaupun karena dalam perjalanan seperti ini kita selalu dihadapkan pada kondisi yang sangat terbatas.

Tiga jam sudah kami lalui pagi itu. Vegetasi masih belum mau berubah wujud untuk menjadi sedikit terbuka, masih sangat rapat. Matahari sudah meninggi namun suasana disekitar kami masih terasa sejuk karena rindangnya pepohonan dengan tanah yang lembab, khas hutan hujan tropis, walaupun kontras dengan suhu tubuh kami yang sangat tinggi. Tak urung dalam beberapa kesempatan, langkah yang sudah kami ayunkan kemudian merosot kembali karena kondisi medan yang memeliki tingkat kemiringan cukup ekstrem. Stamina kami mulai terkuras, karena jalur yang terus menanjak, sesuai dengan prediksi. Karena memang elevasi titik start kami di kabupaten Subang lebih rendah dari titik finish diwilayah Gunung Sanggara perbatasan wilayah Kabupaten Sumedang dan Bandung Barat. Agak sulit melakukan resection pada posisi vegetasi yang benar-benar rapat. Tidak ada tanda-tanda medan seperti puncak bukit yang bisa kami kenali. Cara mengetahui posisi kami saat itu adalah dengan sedikit berspekulasi dengan menyesuaikan kondisi kontur peta dengan keadaan yang sebenarnya. Tepat pukul 10.00 kami memutuskan untuk beristirahat. Ari Umar Sidik yang kebetulan membawa perbekalan air yang cukup banyak terlihat letih. Setelah berisitirahat sejenak, kami kemudian melanjutkan perjalanan. Dua jam berlalu perintisan masih terus berlangsung. Kami mencari tempat untuk beristirahat kembali karena waktu meunjukkan pukul 12.00. Namun kondisi medan masih sangat tidak memungkinkan untuk beristirahat dengan nyaman karena posisi yang sangat miring. Beberapa saat kemudian kami sedikit terperanjat oleh pemandangan yang kami lihat, karena jalur kami melewati bibir tebing dengan jurang yang cukup dalam menganga dibawahnya. Sepanjang mata memandang kami hanya melihat hamparan hijau yang cukup luas. Sedikit terbesit kata syukur bahwasanya diwilayah Bandung, Subang dan sekitarnya masih menyimpan wilayah berupa “sabuk hijau” yang menjadi penopang udara dan air bersih untuk kota-kota congkak disekelilingnya. Dalam kesempatan ini pula kami dianugerahi waktu untuk orientasi peta dengan mencari titik mana dalam peta yang mempunyai kontur layaknya tebing ini. Tidak sulit untuk menemukannya, karena dalam perlintasan Cileat menuju Gunung Sanggara hanya sedikit tebing yang kami lewati. Lain halnya dengan arah perjalanan awal kami dari Gunung Cangak menuju Bukit tunggul, tebing dan jurang terjal menyebar dimana-mana. Setelah sedikit membaca peta kami kemudian mendapati apabila posisi yang kami tentukan benar, maka seharusnya dalam jarak tempuh setengah jam kami akan menemukan wilayah yang sangat landai.

Satu jam berlalu kemudian kami menemukan pemandangan menakjubkan lainnya yaitu wilayah hutan dengan kontur yang sangat kontras dengan jalur kami sebelumnya. Setelah berjam-jam melewati jalur yang sangat menanjak, kami memasuki wilayah yang sangat datar dihiasi dengan pohon-pohon raksasa yang tampak sangat tua umurnya. Kondisi hutan ini lebih lembab dari hutan yang kami lewati sebelumnya. Hawa yang kami rasakan sangat lah sejuk dan menyimpan eksotisme berbeda. Dari sebelah timur kami mendengar sayup-sayup aliran air. Disinilah kami kemudian memutuskan untuk sedikit mengambil nafas untuk beristirahat. Secangkir kopi dan teh serta “cemilan” menemani istirahat siang kami. Sudah menjadi kebiasaan, bahwasanya dalam kegiatan outdoor seperti ini kami hanya mengkonsumsi makanan berat pada petang dan pagi hari. Hal ini untuk memanfaatkan waktu siang untuk beraktifitas sekaligus meminimalisir factor “kekenyangan” pada siang hari yang bisa menyebabkan lambatnya gerakan. Sedikit mengintip kedalam peta, kami sedikit berspekulasi mengenai keberadaan kami, dengan melihat kontur terlandai dari jalur perintisan kami. Wilayah landai tersebut berada dikaki gunung yang bernama Ipis memanjang kearah gunung Sanggara. Namun dari sungai yang mengalir bisa diinterpretasikan bahwa kami berada lebih dekat dengan gunung Ipis dibandingkan gunung Sanggara. Namun dengan kontur yang cenderung landai, akan memakan waktu “hanya” kurang lebih satu atau dua jam kami akan bisa menyentuh wilayah sanggara. Tak berapa lama kami kembali melanjutkan perjalanan. Dengan medan yang tidak terlalu berat, langkah kami mengayun semakin cepat. Namun langkah demi langkah bisa semakin dinikmati. Apalagi melihat kenyataan gagahnya rimba diutara kota Bandung ini, menyisakan sedikit asa akan cadangan udara segar yang masih terjaga, ditengah memanasnya iklim dalam sepuluh tahun kebelakang, dibarengi dengan kurangnya ruang terbuka hijau di kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta dan disempurnakan oleh kebijakan pemerintah kota untuk menebang pohon-pohon tua yang berdiri ditengah kota Bandung sebagai korban kebijakan pelebaran jalan yang sudah tidak lagi mampu menampung kuantitas kendaraan bermotor yang ironisnya menjadi penyumbang terbesar polusi udara.

Satu jam berlalu kami kemudian melihat sedikit celah terbuka diantara pepohonan, sekilas tampak Gunung dengan puncak yang cukup tinggi berada disebelah barat kami. Dari peta bisa dilihat bahwa apabila jalur yang kami lalui sesuai rencana, maka puncak yang berada disebelah barat kami seharusnya adalag Gunung Bukit Tunggul. Dan apabila puncak bukit tunggul tersebut tepat berada di Barat maka seharusnya sisi sebelah timur kami tepat bersebelahan dengan Gunung Sanggara. Dari kontur yang dilihat dipeta sebenarnya bisa ditarik kesimpulan kami sudah memasuki wilayah yang dikenal dengan Gunung Sanggara. Dan bila tak ada aral melintang maka seharusnya kami akan melewati batas vegetasi dan berjumpa dengan perkebunan Kina setengah jam kedepan.

Kurang lebih pukul 15.00, Langkah yang semakin cepat seiring dengan semangat yang menggebu ketika kami mulai menapaki wilayah yang ditumbuhi ilalang dengan vegetasi yang mulai terbuka. Disisi sebelah timur kami dengan gagahnya berdiri Gunung Sanggara. Dari hati kami sebenarnya sudah bisa disimpulkan bahwasanya perjalanan kami merintis Jalur dari Cileat menuju Gunung Sanggara sudah hampir usai. Tak lama kemudian tampak perkebunan Kina membentang didepan mata. Jalan setapak sudah bisa kami jajaki. Ada sedikit perasaan bangga karena rencana perjalanan yang semula direncanakan 2-3 hari bisa ditembus dengan hanya satu setengah hari saja. Akibatnya persediaaan logistic untuk keperluan konsumsi kami menjadi berlebih karena kami menyediakan bahan makanan untuk 5 hari perjalanan sesuai dengan Safety Procedure yang berlaku. Akhirnya kami memutuskan bermalam dikaki Gunung Bukit Tunggul dengan alasan masih mempunyai persediaan bahan makanan yang cukup. Malam itu, dibawah naungan Fly Sheet, dalam hati penulis kembali terbesit kebanggaan berhasil menembus salah satu bagian hutan terbesar diwilayah Bandung Utara, disertai ironisme kelebat bayangan yang ditangkap selama perjalanan yang menimbulkan pertanyaan : Sampai kapan hutan nan gagah diujung jalan Bandung Utara ini akan bertahan melawan kebijakan-kebijakan yang tampaknya kurang bijaksana? Karena suka atau tidak suka, sadar atau tidak sadar, oksigen yang kita hirup setiap harinya di Kota Bandung yang terus menerus bersolek tanpa memperhatikan aspek keseimbangan lingkungan disumbangkan oleh sisa sabuk hijau Bandung Utara ini.

(Bandung, akhir 2013)

2 comments

Leave a comment