Ancaman Dari Cimandiri Hingga Baribis

(Repost dari grup FB MAPAK ALAM UNPAS – Oleh Boun “Maun Nakula” – KG ’98)

Di Jawa bagian barat, terdapat sejumlah sesar yakni Ujung Kulon, Cimandiri, Lembang, Baribis, Tomo, dan Bumiayu. Di antara sesar tersebut, patahan Lembang mulai menjadi sorotan. Bukan apa-apa, patahan aktif ini dikelilingi hunian padat, terutama di kawasan Lembang.

Nun di bawah, lebih dari 3 juta penduduk di wilayah cekungan Bandung ikut terancam geliat gempanya. Potensi   maksimal kekuatan gempa patahan ini diperikirakan berkisar 6-7 magnitudo. Ujung sesar Lembang sepanjang 22 kilometer adalah Gunung Palasari, terus melewati daerah Batunyusun, Gunung Batu, Observatorium Bosscha, Cihideung, dan ujung baratnya di Cisarua, Kabupaten Bandung Barat.

Seluruh bagian tersebut terangkat 300-400 meter. Adapun disebelah utara “garis” patahan cenderung bergerak turun. Dari hasil citra satelit, patahan berjenis normal tersebut berbentuk nyaris lurus.

Pakar gempa, Danny Hilman Natawidjaja, mengatakan tingkat kerusakan bangunan setara dengan percepatan gravitasi lindu 0,3-0,4 G. “Gempa di Bandung bisa seperti di Yogyakarta pada tahun 2006,” ujarnya saat kuliah umum di ITB bertajuk “Sesar Lembang dan Hubungannya dengan Masyarakat Bandung”,.

Selain padat penduduk, kesamaan Bandung dan Yogyakarta adalah kotanya dibangun di atas tanah endapan. Selain labil, jenis tanah ini berpotensi memperbesar getaran gempa dari titik asalnya.

Peneliti dari Geoteknologi LIPI tersebut juga khawatir peristiwa gempa Kobe, Jepang, pada  terjadi di ibu kota Jawa Barat itu. Sama-sama punya pergerakan sesar 2 milimeter per tahun, bencana di Kobe baru terjadi setelah gempanya tertidur lama. “Di Kobe, tidak ada gempa sejak 2.000 tahun kebelakang, tahunya jebret 2005,” katanya.

Adapun sejarah kegempaan sesar Lembang pada masa lampau sejau ini masih diteliti rekannya, Eko Yulianto, yang menggali empat lubang di Cihideung dan Kampung Sukamulya.0 tahun lalu,” katanya. Be Semuanya berada tepat di atas jalur patahan Lembang.

Dari lapisan tanah sedalam 1,5 – 2 meter, Eko menemukan tanah termuda berusia 500 tahun di kedalaman 80 sentimeter. “Diperkirakan gempa paling besar terakhir pada 400-60berapa waktu lalu, ia memperkirakan kekuatan gempa yang pernah terjadi berkekuatan 7 pada skala Ricther.

Sejarah gempa patahan Lembang boleh dibilang masih nihil. Namun peneliti dari pusat Survei Geologi Badan Geologi, Engkon Kertapati, punya riwayat lain. Menurut dia, sesuai dengan catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, pada Juni 2003 pernah terjdi gempa dangkal dipatahan Lembang dengan kedalaman 10 kilometer yang berada di daerah Cihideung. “Besarnya 5,4 skala Richter, dan menurut laporan lisan, merusak beberapa rumah warga disana,” ujarnya.

Pergerakan patahan Lembang juga masih belum terang, apakah bersamaan atau terbagi dalam beberapa segmen. Eko Yulianto menduga gempa berskala 7 terjadi karena sesar bergerak bersamaan. Kondisi di bawah tanah patahan juga belum diketahui, apakah ada bagian yang terkunci atau merangkak lambat (creep).

Menurut Eko, patahan Lembang bergerak karena dorongan lempeng Hindia-Australia dari selatan dan tertahan lempeng Eurasia dari utara, seperti halnya di Sumatera. Karena tak kuat menahan desakan patahan itu akan menimbulkan gempa.

Para ahli telah memasang alat perekam gempa dan global positioning system. Menurut Irwan Meilano, pergerakan sear Cimandiri ternyata dua kali lebih besar disbanding sesar Lembang, yaitu 4 milimeter per tahun. Potensi kekuatan maksimal gempanya dari hasil pemodelan diperkirakan mencapai M 7,2.

Engkon Kertapati menjelaskan, berbeda dengan Lembang, bentuk sesar Cimandiri terputus-putus menjadi beberapa segmen. Mulai Pelabuhan Ratu, Cianjur, lalu ke segmen Rajamandala.

Menurut Engkon, yang menjadi anggota tim Peta Gempa Indonesia 2010, sesar Cimandiri setinggi rata-rata 15 meter bergerak normal dengan geseran. Kecepatannya, dalam hitungan Engkon, lebih lambat ketimbang Lembang, yaitu 0,6 – 1,4 milimeter per tahun.

Tercatat pernah ada tiga gempa di patahan itu, yaitu di Cimandiri pada 1982, 1844 di Cianjur, dan 1910 di Rajamandala. Namun, kekuatan gempa dan dampak kerusakannya. Kata sarjana geologi Universitas Padjajaran tersebut, sejauh ini belum diketahui.

Adapun patahan Baribis, yang belum diakui sebagai ancaman gempa di peta nasional, berbaris melengkung putus-putus dari arah barat ke selatan.

Menurut Engkon, tercatat ada lima kali kejadian gempa di daerah patahan itu : Karawang pada 1862, Sumedang 1972, Cirebon 1853, Majalengka 1991, dan Kuningan 1875.

Para ahli sependpat yang paling penting dari paparan peta ancaman gempa adalah kesiapan masyarakat dan pemerintah dalam membangun gedung, rumah, serta infrastruktur lainnya agar tahan gempa. Paling tidak, hunian tak runtuh seluruhnya.

Leave a comment